- Teror Peradaban, Bukan Perang Peradaban
Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group
“Saat diplomasi berbicara, anak-anak bisa bermain tanpa takut langit runtuh.”
KRISTALISASI kearifan peradaban universal itu menukik jantung kemanusiaan kita manakala hari-hari ini kita serempak memohon doa perdamaian dan mendesak kepada pihak yang berseteru menghentikan perang dan mengedepankan diplomasi hati.
“Jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(Al-Anfal · Ayat 61)
Dalam terminologi lain, mari bungkam senjata dengan diplomasi, dan biarkan hati menggantikan rudal.
> “Tidak ada konflik yang jauh ketika martabat manusia dipertaruhkan.”
— Paus Leo XIV
Perang: Homo Homini Lupus
Ketika langit-langit Timur Tengah kembali berselimut kabut mesiu dan jerit manusia, dunia bergetar. Bukan karena gempa, melainkan karena ketololan kolektif peradaban yang memilih peluru daripada pelukan. Amerika dan Iran—dua negara yang kerap berdiri atas nama kebesaran bangsa dan prinsip—kini saling berbalas serangan, menggugurkan ratusan jiwa tak bersalah yang bahkan tak pernah ikut memilih jalan perang.
Homo homini lupus, kata pepatah Latin. Manusialah serigala bagi manusia lain.
Kenapa Presiden Donald Trump berfikir dengan berperang dan menyerang akan tercipta perdamaian?
Si vis pacem, para bellum—jika kau menginginkan damai, bersiaplah perang—adalah mantra kuno yang telah usang. Dunia kini butuh etika baru, yang berpijak pada keberanian mencintai, bukan pada keberanian membunuh.
Ketika Pemimpin Dunia Menjadi Teroris Peradaban
> “Perang adalah kegagalan politik dan kebangkrutan moral.”
— John Paul II
Perang bukan lagi soal pertahanan diri. Ia berubah wujud menjadi teror kemanusiaan yang dibungkus dengan retorika diplomatik dan jargon nasionalisme.
Ketika pemimpin dunia justru berlomba meledakkan nuklir, maka merekalah yang sejatinya sedang meledakkan masa depan anak-anak kita.
Paus Leo XIV dalam seruan damainya menyebut dengan gamblang: “Tragedi yang membawa kita ke jurang yang tak dapat diperbaiki.”
Serangan terhadap fasilitas nuklir di Iran, diikuti balasan rudal yang menewaskan ratusan, hanya akan memperpanjang rantai penderitaan.
Tidak ada “kemenangan” dalam perang, yang ada hanyalah pembusukan peradaban oleh ego dan ambisi.
Damai Bukan Kekalahan, Tapi Keberanian
> “Kekerasan adalah senjata orang yang lemah.”
— Mahatma Gandhi
Betapa naif dunia modern jika masih percaya bahwa damai bisa dicapai melalui ledakan. Ketika seorang anak di Gaza kehilangan ayahnya karena drone tak bernama, atau seorang ibu di Teheran memeluk tubuh putrinya yang hangus, apa artinya “keberhasilan militer yang spektakuler”?
Damai bukanlah produk perundingan politik semata. Ia lahir dari keberanian untuk menahan balas.
Dan inilah pesan mendalam dari Paus Leo XIV beberapa hari lalu:
> “Biarkan diplomasi membungkam senjata.”
Dunia Tak Butuh Jenderal, Dunia Butuh Penjaga Nurani
> “Dunia akan hancur bukan oleh orang jahat, tapi oleh mereka yang melihat kejahatan dan memilih diam.”
— Albert Einstein
Setiap bom yang dijatuhkan hari ini adalah utang moral yang harus dibayar anak cucu kita. Ketika bangsa-bangsa berlomba memperkuat senjata, mereka sesungguhnya sedang memperlemah masa depan.
Kita tidak butuh jenderal yang pandai mengatur pasukan. Dunia merindukan penjaga nurani, pemimpin yang menangis saat mendengar tangisan anak di pengungsian.
No More War — Cukuplah Sejarah Berdarah
> “Perang akan berhenti, jika satu orang saja memilih untuk tidak membalas.”
— Desmond Tutu
Kita berdiri di persimpangan sejarah. Apakah akan menulis bab berikutnya dengan tinta darah? Ataukah kita berani menciptakan babak baru dengan tinta air mata keinsafan?
Sebagaimana Paus Leo XIV berpesan:
> “Komitmen kita adalah menjadi pembawa persekutuan dan perdamaian setiap hari.”
Seruan dari Jantung Kemanusiaan
Media massa dengan jurnalismenya sedang memandang perang yang kalau tidak dihentikan bakal merusak peradaban.
Media massa hendaknya tidak menjadi pembawa api, tetapi lentera yang menyinari jalan damai.
Media massa menulis bukan untuk menyalakan amarah, melainkan untuk menghidupkan harapan.
Media massa bukan sekadar pewarta berita. Kita adalah pewarta nurani.
“Setiap ledakan menunda masa depan. Setiap pelukan mempercepat peradaban.” Semoga!
*Agus Ismunarno Cakraputra adalah wartawan utama, pendiri/pemimpin redaksi enam media massa di empat provinsi dan pimpinan media massa (1993-2022) di 5 provinsi. Kini, CEO/Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group.
Foto-foto: istimewa/reuters/antara
Narasi: dari berbagai sumber dan dialog dengan dinda ai
#NoMoreWar
#JurnalismeDamai
#TerorisPeradaban
#DiplomasiMengalahkanSenjata