Gombalan PENA: Percikkan Nila dari Metaverse

oleh -
ilustrasi

Oleh: Campa Champaka Chempedak/NIRWAN, Pemerhati Budaya

TERUS TERANG aku tak mengenal banyak tentang pena, bahkan mungkin baru saja mendengar namanya, tapi mungkin aku ingin mengisahkan imajinasiku tentang PENA.

Dari sini aku mulai bertanya
apa sebetulnya yg PENA cari?

Bukankah semua lautan masih merekam aroma pohon dari dayung yang mengibas arus bahkan angin pun masih merekam deru kebasan layar kulit terkuat, hingga burung terbang labo pun tak kuasa menolak untuk tidak hinggap di tiang pancang sembari menyibak bulu di antara sayap abu abu?

Pena mulai ragu ketika jemarinya berhenti di titik sebuah kalimat “bahwa kata kata paling berbisa ialah kata kata yg tidak pernah diucapkan”.

Beruntung dalam setiap detik, Pena masih menghirup udara segar dari sebuah kamar berdinding cendana pada sebuah Bahtera diatas lautan teduh.

Pikirannya enggan beranjak dari kalimat yg ia tuliskan bahkan pernah diucapkannya dengan penuh kekayaan budi, bernilai kebajikan langit, namun dunia metaverse dilanda kegalauan untuk menempatkan nomor urut absen karena hanya tersisa angka diantara Nol

Namun lautan teduh seperti memperlambat lajunya Bahtera, hal musabab tiada terasa ombangan air, angin pun enggan menerpa.

*

Pena sedikit gelisah bagaimana bila keadaan ini bisa mengandaskan harapan dari gurun harta yang ada di dalam kepala dan gelora batinnya.

Setelah Pena abdikan sepanjang hidup nya di lautan demi samudra tinta, namun ia kini enggan melanjutkan kata pertama yg akan ditulisnya setelah titik.

Matanya tertuju pada sesuatu di kejauhan dari jendela kamar. Pandangannya hanya hamparan kegelapan.

Pena yakin pimpinan dunia metaverse tidak akan ragu untuk menganugrahkan satu di antara nomor urut yg tersisa, bila ia mampu menaklukkan pencaharian ini.

Sepertinya pena terhanyut melupakan batas waktu untuk lelah. Suara dengkur mulai perlahan menimbulkan getar menjalar ke setiap inci lekuk Bahtera, meresonansi, mengalun bak symphony perayaan pergantian malam tahun baru dengan gemuruh tepuk tangan.

Kibasan kain dasi pada wajah, membuat matanya mencering, disambut cahaya yang tertangkap pupil, tubuhnya berdiri sembari merasakan bahteranya telah melaju. Ia tidak menyadarinya selama mendengkur tadi malam, namun seteguk wine siap menemani senyumnya di pagi ini, merayakan keberhasilan pencaharian penjelajahan, pembuktian.

Pena membayangkan Ratusan juta rakyatnya sedang berduyun duyun, berdesak desakkan tak sabar ingin melihat lambaian pertama dari tangannya sebagai insan yang datang membawa madu serta benih benih kesuburan seperti halnya astana samudra tinta yang jatuh bangun ia bina.

Pena akan menjadi ruh kebangkitan negerinya, menggerakkan raga raga pengagum, dengan bait bait gurindam seraya menikmati panen anggur sepanjang umur kaum di zamannya.

Ribuan anak cucu generasi tentu akan terus memperpanjang riwayat dirinya pada setiap goresan di meja pelajaran, merasuk ke pikiran, hingga mereka yakin bahwa nama Pena akan terus abadi.

Begitulah orang hidup selalu mewariskan nama, hanya gajah yang meninggalkan gading, ah itu hanya kiasan lama.

Sangkakala tiba la pula, apa yang dinomenakan Pena benar benar menjadi phenomena.

*

Pena telah mengukir sejarah zaman, sejarah samudera tinta. Namanya bergema dari toa toa terus memanggil sang legenda, cahaya emas berkilauan dari piala metaverse.

Namun ada yang membuat hatinya heran pada raut sang penyerah piala kepadanya; tiada senyum terlihat, raut yang dingin, hanya sedikit garis wajah terlihat bergerak.

Masih sempat Pena melihat keanehan ini, namun sebelum hal itu terjawab, risalah khotbah harus dikumandangkan dahulu ke hadapan rakyat tintanya, yang pasti pena benar benar memukau, rona rona merah di pipi gadis gadis, gigi gigi putih dari teriak kagum kaum adam pecah, tumpah ruah, seperti membayangkan suasana penganugerahan mahkota pada Raja yang baru naik tahta.

Sebelum mengakhiri khutbahnya, Pena secara berani bertanya dari atas panggung tertuju kepada sang penyerah piala metaverse tentang keanehan yang mengganggu hati.

Pena terus memaksa bahkan menarik tangan serta menuntun sang penyerah piala metaverse keatas panggung.

Pena ingin sebuah kejujuran, tidak ada kalimat yg tersembunyi untuk tidak diucapkan seperti kalimat yg pernah pena tuliskan ketika di malam pelayarannya di lautan teduh perihal “kata kata yang sangat berbisa adalah kata kata yang tidak pernah diucapkan”

Mungkin Pena sendiri menyadari, apa yang disimpan dalam pikirannya sendiri, atau mungkin Pena benar benar tidak tahu bahwa dirinya benar benar tidak tahu.

Namun apa yg diharapkan pena terjadi (kun). Penyerah piala metaverse memberinya jawaban, namun hanya lewat bisikan. Bisikan itu hanya menggema, bermain pada gendang telinga.

Getarannya merambat melalui jaringan syaraf, pembuluh darah, hingga ditarjamah oleh akal sehat serta logika Pena.

Penonton melihat Pena yang tiba tiba berubah, terdiam, wajahnya dingin, riuh rendah suara pengagum mulai sunyi, melihat keanehan sang legenda penguasa samudera tinta.

Dari bawah panggung Sosok Seorang perempuan Tua perlahan menghampiri sang pemberi piala metaverse sembari bertanya, “nila” apa yg kau percikkan padanya?

Aku mengatakan “hanya orang yang tersesat lah yang akan terus mencari dan itu dimulai dari angka satu”.

(Campa,120523)

Oleh: Campa Champaka Chempedak/NIRWAN, Pemerhati Budaya

Tinggalkan Balasan