SUATU HARI saya mendapat kiriman pesan dari sesepuh yang saya panggil Kek Rai, di ujung pesan tertulis (credit : Ira Byock) isinya begini :
“Anthropolog Margaret Mead ditanya oleh seorang mahasiswa apa yang menurutnya tanda adanya peradaban dalam sebuah budaya.
Mahasiswa itu memperkirakan Mead akan menyebut kail ikan, atau periuk gerabah, atau batu penggilingan.
Ternyata tidak. Mead mengatakan tanda adanya peradaban dalam sebuah budaya kuno adalah sebuah femur atau tulang paha yang patah dan sembuh, tersambung kembali.
Mead menjelaskan di dunia binatang, jika seekor binatang mengalami patah tulang paha, ia habis. Ia tak bisa lari menyelamatkan diri dari bahaya, tak bisa jalan ke sungai untuk minum, atau berburu makanan.
Ia makanan empuk bagi binatang pemangsanya. Tak ada binatang yang masih hidup sampai patah tulangnya sembuh.
Tulang paha patah yang sembuh membuktikan adanya seseorang yang menemani orang yang mengalami masalah tersebut, membebat lukanya, membawanya ke tempat yang aman, dan merawatnya sampai sembuh.
Membantu orang yang mengalami kesulitan adalah penanda mulainya sebuah peradaban, ujar Mead.
Sampai disitu , saya membayangkan pandangan Mead terhadap tempat yang saat ini saya kunjungi, dan berdiri di sebuah padang sapu sapu nan luas di Pulau Belitung.
Di dalam benak bertanya mengapa begitu banyak hamparan padang , riding (hutan batas), serta lembah sungai, sebagian hutan heterogen bahkan dari sekian padang terdapat komplek situs keramat kuburan.
Ada pesan tersirat dari kehidupan para pendahulu de pulau Belitung.
Walaupun kondisi demikian adanya, bisa pula dikatakan menyimpan harapan luhur di masa mendatang sembari pula memprihatinkan.
**?
Di padang luas itu, terlintas pikiran mengenai bagaimana bumi/tanah mampu menumbuhkan serta menghidupkan mahluk di permukaan pulau Belitung. Terlintas pula pesan bahwa bumi pernah dimatikan kemudian dihidupkan kembali.
Lalu bagaimana bumi/tanah bisa mati (tidak mampu menumbuhkan kehidupan) serta bagaimana pula sebaliknya?
Memahami Hakkul Bumi bagi manusia (Hakkul Adam) dirasa tentu terbatas usia/umur.
Apakah manusia tidak memerlukan bumi yang mampu menghidupkan, ataukah ada kesadaran dalam diri manusia yang tidak mengenal keberkaitan kehidupan?
Tidak kah manusia sendiri hidup membutuhkan makanan (kalori), air, udara ahaya, api, serta pengetahuan.
Tapi apakah manusia membutuhkan sesuatu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri?
Jika benar demikian, maka bumi bisa dipastikan akan mengalami kematian, kematian bumi dimulai dari berkurang nya unsur panas/api (berupa mineral di dalam nya), kualitas unsur air/jernih (suhu yang meredam kelebihan panas dalam bumi), kualitas unsur udara (persemaian energi halus dari air dan mineral), unsur cahaya (asupan zat hidup untuk pemerataan/rangsangan semua unsur di dalamnya)
Bila semua unsur terpenuhi /syarat kematian bagi bumi, tentu pula akan terlihat indikator lain dengan berkurangnya kuantitas hutan heterogen (flora), berkurangnya spesies satwa (fauna), suhu yang semakin panas. Siapa yang mampu menyebabkan semua itu?
Khabarnya hanya otak dan perut yang mampu melakukannya. Otak yang tanpa disertai pikiran, bathin (ethic/morality).
Ingatan kembali pada Tahun 2017 Belitung pernah merasakan kuantitas air yang sangat berlimpah ruah. Ada yang menyebut istilah banjir bandang. Dalam kondisi demikian lampu, alat komunikasi, kebutuhan pangan, sandang, transportasi mengalami “kesulitan”, berwisata akan terhambat, kegiatan pertambangan juga terhambat, perkebunan juga demikian, pembangunan infrastruktur pun terhambat.
Kejadian itu suatu waktu menimbulkan banyak persepsi perihal sebab musabab. Yang menjadi tersangka utama adalah alam, sebab dituding sebagai bencana alam.
Ada kemungkinan alam dianggap mempunyai hukum serta kebijakan sendiri selain hukum dan kebijakan dari manusia.
Walaupun demikian, kondisi yang kita anggap bencana justru menimbulkan pula gerakan berupa bantuan sosial dari manusia yang ada di dalam pulau Belitung, tidak hanya di Belitung bantuan sosial pun juga datang dari luar pulau Belitung.
Gambaran kejadian 2017 itu, selaras dengan kalimat akhir dari tulisan anthropolog Margaret Mead sebagai “penanda mulainya sebuah peradaban”.
Mungkin saja manusia tidak merasa pernah kehilangan peradaban. Bila seandainya telah dimulai, tentu akan dirasakan sekarang apakah betul betul telah dimulai sebuah peradaban setelah 8 tahun bencana terjadi?
Di padang luas yang tersisa ini, terlintas pula pikiran perihal akan kemana manusia berlindung, serta siapa yang akan membantu kembali?
Haruskah mengulang lagi ingatan tentang bagaimana semestinya membangun peradaban; apakah cukup diserahkan kepada otak dan perut?
Atau sebetulnya ini penanda zaman dimulainya peradaban disequilibrium?
Ada insan yang mengingatkan adalah natuurwet, hukum alam, karena ini sebuah proses reequilibrium oleh semesta alam, karena geometri equilibrium terganggu, dengan adanya keserakahan dan kesombongan yang menimbulkan kontraksi disequilibrium semesta alam.(Campa,190523)