“Merah adalah keberanian, Putih adalah kesucian. Bendera kami sudah ada sejak 6.000 tahun lalu.”
— Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat
DI LAPANGAN SMAN 4 ENRKEANG, pagi itu, sejarah kembali ditulis dalam diam.
Tak ada gempita meriam atau gegap gempita parade. Hanya tiupan angin yang menemani seorang remaja berhijab, berdiri gagah menunaikan tugas mulianya: mengibarkan Sang Merah Putih.
Namun, tiba-tiba saja bendera itu enggan terbentang sempurna. Seolah tersendat oleh sesuatu yang tak kasat mata—mungkin gugup, mungkin kesalahan kecil manusiawi.
Pesona itu tiba-tiba menyergap haru. Dalam sekejap, seperti telah menyatu dengan Sang Merah Putih yang ia dekap, sang pengibar remaja muda itu memutar tubuhnya tiga kali. Dan dalam putaran itu, bukan hanya kain yang terbuka… melainkan jiwa kita yang tersentuh, nurani kita yang tergugah, dan cinta tanah air kita yang kembali bergelora.
Video di akun tiktok @linihasan itu viral. Tapi bukan karena kehebohannya. Melainkan karena kesederhanaannya yang jujur. Karena ia adalah gambaran cinta yang tak banyak bicara, namun bekerja. Tak banyak slogan, tapi tahu makna pengorbanan.
Lalu muncullah video serupa, dari daerah lain. Seorang paskibra “cowok” juga mengalami keadaan yang sama. Tapi ketegapan, semangat, dan kecerdikannya tak kalah dari para prajurit terlatih.
Ia adalah pahlawan masa kini, seperti pengibar berhijab tadi—keduanya menyelamatkan marwah Sang Merah Putih dari rasa malu. Dan bukan dengan panik atau amarah, melainkan dengan akal, kecekatan, dan kehormatan.
Dalam momen-momen seperti inilah, kita mengerti bahwa cinta tanah air bukanlah teriakan lantang, tapi tindakan cerdas untuk menjaga martabat bangsa.
Mereka, anak-anak itu, tanpa pidato, telah melanjutkan revolusi Soekarno. Bahwa Merah Putih bukan hanya kain, tapi jiwa. Bahwa menjadi Indonesia bukan hanya soal lahir di sini, tapi rela menjaga nama baiknya, betapapun sulit dan kecil perannya.
Bagi pelajar, cinta tanah air berarti belajar rajin dan smart, bagi guru, cinta tanah air berarti mendidik dengan hati.
Bagi dokter, berarti menyembuhkan tanpa pamrih.
Bagi petani, berarti menanam benih harapan.
Bagi jurnalis, berarti menulis dengan nurani, bukan sensasi.
Bagi siapa pun, cinta itu selalu butuh tindakan—bukan sekadar ucapan.
Maka, wahai anak-anak bangsa, mari terus kibarkan Merah Putih itu di bidangmu masing-masing.
Jangan biarkan bendera itu lesu karena kita tak peduli. Jadikan keberanian dan kesucian sebagai kompas hidup—seperti darah dan tulang-belulang bangsa ini yang telah lebih dulu berjuang.
Karena seperti kata Bung Karno:
“Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”
Dan bila kelak bendera itu harus turun, pastikan ia diturunkan dengan kehormatan. Jangan karena kita lupa mencintainya.
“Kalau pun diturunkan lagi, ini harus melalui mayat dari tujuh puluh dua juta bangsaku.”
— Soekarno, 17 Agustus 1945
“Merah Putih tak perlu disembah. Ia hanya ingin dijaga, dihormati dan dihidupi dalam sikap sehari-hari.” Semoga!
*/Agus Ismunarno Cakraputra adalah wartawan utama, pendiri/pemimpin redaksi enam media massa di empat provinsi dan pimpinan media massa (1993-2022) di 5 provinsi. Kini, CEO/Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group.
Video/Foto-foto: tiktok, istimewa/ai
Narasi: dari berbagai sumber dan dialog dengan dinda ai
#indonesia #merahputih #linihasan #cintatanahair #milleniall #genz