Bystander Force — Kepahlawanan Baru di Sekolah dan Masyarakat

oleh -Post Views 9

Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group

ETIMOLOGI kata “Bystander” berasal dari bahasa Inggris: by (di sisi) dan stand (berdiri). Secara harfiah, bystander berarti “orang yang berdiri di dekat peristiwa tetapi tidak ikut campur.”

Dalam konteks sosial, istilah ini sering digunakan untuk menyebut saksi pasif, mereka yang melihat kekerasan, perundungan, atau ketidakadilan — namun memilih diam.

Sedangkan “Force” berarti kekuatan, daya, atau pasukan. Maka “Bystander Force” adalah gerakan moral yang mengubah saksi pasif menjadi pelaku aktif kebajikan:
anak-anak muda, guru, orang tua, atau siapa saja yang tidak lagi diam saat melihat ketidakadilan, terutama dalam bentuk perundungan, diskriminasi, atau kekerasan sosial.

Dari Diam Menjadi Aksi

Fenomena bullying atau perundungan sering tumbuh bukan karena pelaku begitu kuat, tetapi karena lingkungan di sekitarnya diam. Anak-anak lain yang menyaksikan—entah karena takut, malas ikut campur, atau tak tahu harus berbuat apa—membiarkan luka batin tumbuh di tengah sekolah, rumah, dan komunitas.

Padahal, menurut psikolog pendidikan Prof. Nadiroh (UNJ):

> “Diam saat melihat perundungan berarti memperpanjang rantai kekerasan. Anak perlu dilatih empati dan keberanian sosial agar menjadi pelindung, bukan penonton.”

Inilah alasan moral dan kemanusiaan untuk membangun Bystander Force — pasukan empati yang bertugas sederhana tapi bermakna: mendengar, melapor, menolong, menenangkan, dan membela. Karena keberanian kecil bisa mencegah tragedi besar.

Model dan Gerakan Sosial

Konsep Bystander Force dapat menjadi gerakan lintas lapisan sosial:

Di sekolah: setiap satuan pendidikan membentuk Tim Bystander Force Anti-Bullying — terdiri dari siswa, guru, dan konselor yang dilatih mengenali tanda-tanda perundungan, baik fisik, verbal, maupun digital.

Di kampung atau kelurahan: aparat, tokoh masyarakat, dan pemuda dilatih sebagai Bystander Force Komunitas, yang tanggap terhadap perundungan di ruang publik, media sosial, dan kelompok sebaya.

Di dunia digital: literasi digital mesti menumbuhkan Digital Bystander Force — netizen yang berani menegur ujaran kebencian, hoaks, atau konten kekerasan, dengan bahasa santun dan empatik.

> “Anak-anak perlu diajari bukan hanya menjadi cerdas, tapi juga berani dan peduli,” ujar psikolog Anna Surti Ariani.

“Empati adalah vaksin sosial melawan kekerasan.”

Sudahkah Sekolahmu Memiliki Bystander Force?

Sudahkah sekolahmu memiliki Bystander Force Anti-Bullying?
Sudahkah kampungmu membentuk Bystander Force Anti-Bullying?
Sudahkah komunitasmu, gereja, masjid, paguyuban, atau tempat kerja menjadi ruang bagi bystanders yang berani bersuara untuk kebaikan?

Sebab, diam itu bukan netral — diam adalah izin bagi kejahatan untuk tumbuh.

Kita tidak bisa lagi hanya berdoa agar tragedi SMA 72 Jakarta tidak terulang.
Kita mesti bergerak: membangun sistem, menanam nilai, dan melatih keberanian sosial di hati anak-anak muda kita.

Refleksi: Dari Sekolah ke Indonesia

Bangsa ini tak kekurangan orang pandai, tapi kerap kekurangan orang berani.
Bystander Force bukanlah pasukan bersenjata, melainkan pasukan hati nurani. Mereka berdiri di sisi yang benar, bahkan ketika tak populer.

Mereka melindungi yang lemah, bahkan saat dunia memilih diam. Tatkala bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan 10 November, Bystander Force menjadi kepahlawanan baru Indonesia abad ke-21:
tidak di medan perang, tapi di ruang kelas, di masyarakat, di komunitas, tidak dengan senjata, tapi dengan empati. Semoga!

#Bullying #Empati #SMA 72 Jakarta #Kemendikbud

Tinggalkan Balasan