Proklamasi Timah Merah Putih, Simfoni yang Belum Selesai *Bagian 3 dari 4 Tulisan

oleh -Post Views 89

Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group

*)The Journey of Life
Jelang Peringatan 25 Th Provinsi Kep. Bangka Belitung

HELIKOPTER itu melayang rendah di atas langit Koba, memantulkan bayangan ke tubuh bumi yang telah lelah menanggung kerak timah. Dari ketinggian, tampak barisan berseragam biru membentuk konfigurasi penyambutan — bukan parade militer, melainkan parade niaga.

“Pasukan Artha Graha,” bisik Gubernur Eko Maulana Ali Suroso di telinga saya. Saya satu-satunya Pemimpin Redaksi yang dipilih untuk mengikuti Kunjungan Kerja Gubernur dan Ketua DPRD ke Belitung, Bangka Selatan dan Bangka Tengah.

“Pak Tommy Winata menunggu di bawah. Beliau berminat mengelola Koba Tin,” kata Gubernur Eko.

Saya terdiam. Kala itu dalam catatan jurnalistik saya kontrak karya PT Koba Tin sudah tamat, dan Bangka Tengah seperti kehilangan denyut nadi industrinya.

Helikopter turun pelan, dan di antara debu tailing yang beterbangan, saya berjumpa dengan sosok yang kerap diberitakan secara nasional: Tommy Winata.

Tommy Winata menyapa saya dengan nada merendah, nyaris seperti senior yang sangat berpengalaman dalam berbisnis.

> “Saya tidak bermusuhan dengan pers, Pak Agus,” katanya. “Saya menghormati pers. Kalau saya menempuh jalur hukum terhadap salah satu media, itu hak saya sebagai warga negara, sebagai pengusaha. Tapi saya terbuka berdialog dengan insan pers — seperti Pak Agus hari ini.”

Percakapan kami berlanjut di sebuah ruang sederhana di kompleks Koba Tin. Ia lalu membuka selembar peta besar Kepulauan Bangka Belitung — dan mata saya terpaku pada deretan tanda merah di sepanjang pantai bibir Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

> “Tanda merah ini,” kata Tommy Winata, “adalah pintu-pintu penyelundupan timah. Itu yang menghancurkan harga, menghancurkan tata niaga timah, menghancurkan moral niaga kita. Kalau saya masuk, semua titik merah ini akan saya tutup.”

Kata-kata itu saya bawa pulang, dan dalam rapat redaksi saya usulkan sebagai konten dan jadi headline Bangka Pos dan Pos Belitung cetak edisi esoknya.

Bertahun kemudian, Oktober-November 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto mengumandangkan operasi besar menutup tambang ilegal dan memerangi penyelundupan timah, ingatan – dengan kapal perang, pesawat, helikopter dan drone – ingatan saya langsung kembali ke hari itu, hari saat saya berdialog dengan Tommy Winata.

Historisitas Timah

Empat abad perjalanan timah — dari masa kolonial, kerajaan, nasionalisasi, hingga era rakyat — membentuk satu paradoks besar:
Negara yang punya timah, tapi kehilangan kedaulatan atasnya.

Kini negara kembali menegakkan benderanya: timah Merah Putih.
Namun, pekerjaan belum selesai. Sebab bangsa ini bukan hanya harus menambang timahnya, tapi juga menambang moralnya sendiri — yang sempat tertimbun di bawah kerak keserakahan.

> “Semoga masyarakat Babel memahami apa yang Pak Agus tulis,” kata Tommy Winata waktu itu saat cita-cita mulia itu dilontarkannya.

Kini, dua dekade kemudian, semoga bangsa ini juga memahami apa yang sedang dilakukan negaranya: menutup titik-titik merah, bukan sekadar di peta, tapi di hati para pelakunya.

Konsistensi Merah Putih

Langit Bangka Belitung telah terlalu lama mendung oleh debu tailing dan kabut kecurigaan. Di sela suara alat berat dan deru ombak yang membawa sisa timah ke negeri jauh, kita menyadari satu hal: kedaulatan ekonomi tidak akan pernah lahir dari pasar gelap.

Kini, tatkala Presiden Prabowo Subianto mengambil alih kendali dan menurunkan pasukan negara—dengan kapal perang, pesawat, helikopter, drone, dan tim investigasi lintas institusi—sejarah kembali menulis dirinya sendiri.

Inilah momentum untuk memproklamasikan Timah Merah Putih – bukan abu abu – sebagai bentuk keberanian bangsa menata ulang urat nadi industrinya: dari tambang yang dikuasai oknum, menjadi tata niaga yang berpihak pada rakyat.

Namun, proklamasi tanpa pelaksanaan hanyalah gema di bukit tailing. Kalau tahun 1999 kita menyerukan Yo Kite Punye Provinsi! melalui Harian BANGKA POS dan Provinsi akhirnya terbentuk 21 November 2000, kini mari kita serukan: Yo, Kite Kawal Timah Merah Putih dan menggemakan:

> Bapak Presiden Prabowo, tuntaskanlah Proklamasi Timah Merah Putih ini.

Dalam tempo yang sesingkat singkatnya, jadikanlah Bangka Belitung pusat keteladanan: bagaimana sumber daya alam dikelola oleh negara, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Panggillah seluruh dirigen ekonomi daerah—Gubernur Bangka Belitung, Forkopimda, para bupati dan walikota, pelaku UMKM, nelayan, penambang, dan investor nasional untuk mewujudkan nadi ekonomi merah putih.

Bergotong royong dan mari bangun Tata Niaga Timah Merah Putih yang menegakkan tiga prinsip sakral:

1. Very Good Mining Practice.
Menambang dengan hati, dengan ilmu, dengan keberlanjutan.
Menjaga deposit agar awet, harga stabil, naik terus dan alam agar tetap teduh.

2. Value Creation for the People.
Setiap kilogram timah yang diangkat, harus sebanding dengan keringat rakyat yang disejahterakan.
Bangunlah industri hilir timah di Babel, agar anak-anak negeri ini tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

3. Post-Mining Paradise.
Seperti yang dilakukan Malaysia pada bekas tambangnya, jadikan wilayah pasca tambang sebagai taman wisata, danau ekologis, atau pusat penelitian alam.

Berprinsip sekali kayuh, dua-tiga pulau terlampaui; menambang sambil menyiapkan kehidupan setelah tambang.

Dan semua itu, bukan hanya rencana ekonomi — tapi bagian dari cita-cita konstitusi:

> “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
(UUD 1945 Pasal 33 ayat 3)

Maka biarlah sejarah mencatat bahwa dari pulau kecil ini, pernah lahir Proklamasi Timah Merah Putih — yang tidak ditulis dengan pedang, melainkan dengan nurani bangsa.

Dari Bangka Belitung, Indonesia belajar kembali bagaimana menambang tanpa kehilangan jiwa, dan menegakkan Merah Putih bukan hanya di tiang bendera, tetapi di setiap butir timah yang diolah dengan jujur. Semoga!

*) The journey of life series- adalah tulisan serial berbagai tema oleh penulis, pasca 65 Th Kelahiran (15 Agustus 1960), 35 Th Berkarya sebagai Insan Pers Indonesia dan 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel.

Tinggalkan Balasan