Tata Niaga Timah dan Krisis Keberanian Bagian 2 dari 4 Tulisan

oleh -Post Views 369

Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group

*) The Journey of Life –
Jelang 25 Th Provinsi Kepulauan Babel

ADA yang lebih berharga dari timah di perut bumi Bangka Belitung: keberanian untuk menata kebenaran. Namun sayang, justru keberanian itulah yang kini paling langka.

Kegagalan tata niaga timah sejak jauh sebelum meledaknya mega korupsi Rp300 triliun bukan semata soal lemahnya sistem. Itu adalah bukti bahwa kepintaran dan keberanian regulator masih bisa “diakali” oleh pelaku pertimahan. Di ruang yang penuh kelicikan, kecerdasan berubah jadi alat, dan keberanian menjadi barang mahal.

Kita menyaksikan sendiri, betapa KKN yang dulu hanya disebut “rahasia umum”, kini terbukti di persidangan. Sementara itu, rakyat kecil di garis tambang menanggung akibatnya: harga timah jatuh, penambangan diburu, dan ekonomi keluarga merosot.

Tanggal 6 Oktober 2025, PT Timah Tbk – melalui dinamika demo penambang – telah membuka pintu buat angin segar kebangkitan dunia timah—sebuah revival ekonomi rakyat pasca-Covid dan pasca-mega korupsi tata niaga timah. Harga timah semestinya mulai membaik di tingkat penambang rakyat, harapan tumbuh, rakyat ingin menambang di IUP resmi dengan tenang.

Kini, masyarakat berharap tak lagi ada ketakutan baru bernama razia, penyitaan, dan operasi besar-besaran yang tak menyisakan ruang bagi rakyat untuk sekadar makan dan hidup.

Apapun bentuk regulasinya—kemitraan legal, koperasi tambang merah putih, atau kolektor berizin alias legal—semua menuju satu tujuan mulia: menjamin kuota ekspor legal negara berjalan transparan dan berpihak pada rakyat.

Namun kini belum sepenuhnya harapan itu terjadi: operasi pemberantasan penambangan ilegal dan penyelundupan berlangsung namun dapur rakyat sudah lama meredup, nyaris padam.

Kita tidak menolak ketegasan dan mempersilakan pemberantasan penambangan ilegal dan penyelundupan, tapi hendaknya operasi itu simultan berbarengan dengan perbaikan ekonomi rakyat.

Operasi semestinya dilakukan cepat seperti kilat halilintar, tapi dengan hati yang yang membawa cahaya bagi remang-remang ekonomi.

Presiden Prabowo kini telah mengambil alih kepemimpinan orkestra ini, lengkap dengan pengerahan kapal perang, pesawat, helikopter, drone, dan pasukan elit.

Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar kekuatan, melainkan harmoni. Sebuah orkestra besar yang dimainkan dengan jujur, rapi, dan bernada benar—pro rakyat Babel dan Indonesia. Sebab, apa artinya simfoni kekuasaan kalau nadanya mencederai kemanusiaan?

Simfoni yang Hilang di Tengah Tambang

Di tengah operasi yang gemuruh, ada kisah yang nyaris tak terdengar.
Tentang seorang ibu di pedalaman Bangka, yang setiap hari memungut butiran timah dari gundukan tailing penambang sedang/besar. Tangannya tergores pasir, punggungnya gosong matahari. Satu kilogram, dua kilogram—cukup untuk makan hari itu.

Ia datang menawarkan timahnya kepada kolektor langganan, tapi semua menolak. “Maaf, Bu… kami takut ditangkap.”

Dan si ibu berjalan jauh, memeluk bungkusan kecil logam itu, menangis di depan sebuah kantor—memohon agar timahnya dibeli, agar anak-anaknya bisa makan malam, mengakhiri hari yang menyakitkan itu.

Begitulah ironi negeri tambang ini. Semesta masih setia memberi rezeki, tapi manusia menutup jalannya dengan regulasi yang kehilangan welas asih.

Maka izinkan kami mengingatkan:
Operasi pemberantasan penambangan ilegal harus berjalan, tapi perbaikan ekonomi rakyat juga harus berjalan bersamaan.

Basmilah ilalang (penambang ilegal dan para penyelundup), tapi jangan cabut padinya.
Berantas penyelundupan, tapi berdayakan penambang dan kolektor yang baik dan jujur.
Bangun sistem yang tegas tapi manusiawi, agar tak lagi ada air mata di tengah tailing.

Semoga Gubernur Babel dan Forkompimda Babel menangkap momentum ini untuk terlibat aktif mengedepankan rakyat Babel dalam orkestrasi nasional dan tidak hanya memberikan cek kosong kepada sang dirigen yang sedang bermain penuh.

Karena pada akhirnya, keberanian sejati bukan hanya menegakkan hukum, tapi menegakkan keadilan.
Dan dari tanah yang penuh luka ini, kita masih berharap—agar suatu hari, orkestra timah Indonesia bisa kembali memainkan nadanya yang benar:
Nada rakyat. Nada kebenaran. Nada keberanian. Semoga!

 

*) The journey of life series- adalah tulisan serial berbagai tema oleh penulis, pasca 65 Th Kelahiran (15 Agustus 1960), 35 Th Berkarya sebagai Insan Pers Indonesia dan 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel.

Tinggalkan Balasan