Kenaikan Harga Beli Timah dan Meneropong Masa Depan Ekonomi Bangka Belitung

oleh -Post Views 97
Pdt. Frank Sinatra

Oleh: Pdt. Frank Sinatra
Sekretaris Umum BAMAG LKKI Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

 

KABAR tentang keputusan PT Timah Tbk menaikkan harga beli timah dari para mitra pasca aksi demo para penambang beberapa waktu lalu disambut dengan berbagai ekspresi di tengah masyarakat Kepulauan Bangka Belitung.

Ada yang bersyukur, ada pula yang tetap cemas. Namun satu hal yang pasti: kebijakan ini bukan sekadar soal angka, melainkan menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat yang selama puluhan tahun bertumpu pada tambang timah.

Bangka Belitung memang unik. Provinsi ini dibangun di atas fondasi ekonomi yang sangat tergantung pada timah. Dari timah, muncul perputaran uang di warung, bengkel, toko sembako, hingga biaya sekolah anak-anak.

Ketika harga timah turun, ekonomi lesu. Ketika harga naik, gairah hidup kembali tumbuh. Maka, kenaikan harga beli timah oleh PT Timah Tbk pasca demo bukan hanya kebijakan korporasi, melainkan sebuah langkah strategis yang memiliki efek sosial dan ekonomi yang luas.

Dampak Jangka Pendek: Harapan Baru di Tengah Kelesuan

Dalam jangka pendek, kenaikan harga beli timah jelas memberi efek positif. Para penambang rakyat, baik yang tergabung dalam mitra resmi maupun yang bekerja di lapangan secara mandiri, merasa mendapat angin segar. Sudah nampak dalam bayangan bahwa pendapatan mereka akan meningkat, daya beli masyarakat akan mulai pulih, dan roda ekonomi kecil dipastikan akan kembali berputar.

Sektor-sektor turunan seperti perdagangan bahan bakar, logistik, makanan, dan jasa transportasi diprediksi akan ikut terdorong.

Ketika penambang memiliki uang, mereka belanja. Dan ketika belanja terjadi, ekonomi rakyat hidup.

Dalam teori ekonomi, kondisi ini disebut sebagai efek multiplier — di mana satu kenaikan pendapatan di sektor tertentu menimbulkan efek berantai pada sektor lainnya.

Namun di balik itu, kita juga perlu jujur bahwa ada potensi risiko: ketika euforia ekonomi muncul, aktivitas tambang bisa melonjak tanpa terkendali. Jika pemerintah dan PT Timah tidak mengelola secara bijak, lonjakan produksi tanpa tata kelola lingkungan akan menimbulkan masalah baru — dari kerusakan ekosistem, konflik lahan, hingga munculnya tambang ilegal yang merugikan negara.

Dampak Jangka Panjang: Momentum untuk Restrukturisasi Ekonomi

Kenaikan harga beli timah ini semestinya tidak hanya dilihat sebagai kompensasi pasca demo, melainkan sebagai momentum untuk menata ulang arah ekonomi Bangka Belitung.

Selama bertahun-tahun, ketergantungan pada timah membuat ekonomi Babel rentan. Ketika harga timah dunia turun, daerah terpukul. Ketika tambang berhenti, pengangguran meningkat. Maka sudah saatnya kebijakan pasca kenaikan ini dijadikan titik awal untuk membangun struktur ekonomi yang lebih beragam.

Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong sektor lain: pertanian modern, perikanan, pariwisata berbasis alam dan budaya, serta industri kreatif lokal. Bangka Belitung memiliki potensi besar — dari lada putih yang melegenda, keindahan Pantai, hingga sumber daya manusia muda yang mulai terdidik.

PT Timah sendiri juga dapat memainkan peran strategis melalui program tanggung jawab sosial (CSR) yang terarah, bukan sekadar bantuan simbolik, tetapi proyek nyata yang meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat pasca-tambang. Misalnya, pelatihan wirausaha, budidaya perikanan, pertanian organik, hingga pengembangan UMKM berbasis komunitas.

Dengan cara itu, kenaikan harga timah bukan hanya mengobati luka jangka pendek, tetapi juga membuka jalan menuju ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Langkah yang Diperlukan Pemerintah

Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, perlu mengambil peran aktif dalam tiga hal penting:

Regulasi dan Pengawasan Tambang yang Terpadu.

Pemerintah perlu memastikan bahwa kegiatan penambangan rakyat tetap dalam koridor hukum.

Pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar tambang ilegal dan kerusakan lingkungan.
Dibutuhkan sistem perizinan yang transparan dan terintegrasi antara PT Timah, aparat keamanan, dan masyarakat lokal.

2. Kebijakan Diversifikasi Ekonomi.
Pemerintah harus menyusun peta jalan (roadmap) ekonomi pasca-tambang. Selama masih ada pendapatan dari sektor timah, hasilnya perlu dialokasikan untuk investasi jangka panjang — infrastruktur, pendidikan, dan pengembangan industri non-tambang. Jangan sampai kita terus bergantung pada sumber daya yang suatu saat akan habis.

3. Kemitraan Sosial dan Edukasi Publik.

Pemerintah perlu menjadi jembatan antara masyarakat penambang dan perusahaan. Edukasi mengenai tambang ramah lingkungan, pengelolaan keuangan keluarga, serta pentingnya menabung dan berwirausaha perlu digalakkan.

Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat tidak hanya bergantung pada hasil tambang semata.

 

Peran Masyarakat dan Gereja

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, lembaga-lembaga keagamaan seperti BAMAG LKKI memiliki peran moral dan sosial yang penting. Kami percaya, pembangunan ekonomi yang sejati harus berpijak pada nilai-nilai etika dan keadilan.

Kenaikan harga timah memang membawa sukacita, tetapi tanpa tanggung jawab moral, kesejahteraan itu bisa semu. Gereja dan lembaga rohani perlu terus mengingatkan masyarakat untuk bekerja dengan jujur, tidak serakah, dan menjaga bumi sebagai ciptaan Tuhan.

Bila ekonomi Babel ingin bertumbuh sehat, maka spiritualitas dan moralitas juga harus tumbuh sejajar. Sebab kesejahteraan tanpa karakter hanya akan menumbuhkan kerakusan baru.

Penutup: Dari Krisis Menuju Harapan

Demo para penambang beberapa waktu lalu seharusnya tidak hanya dipandang sebagai gejolak sosial, melainkan juga sebagai suara nurani rakyat kecil yang mengingatkan bahwa sistem ekonomi kita perlu diperbaiki. Kenaikan harga beli timah oleh PT Timah Tbk merupakan langkah positif yang patut diapresiasi. Tetapi pekerjaan besar belum selesai.

Pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat harus berjalan bersama dalam kesadaran baru: bahwa masa depan Bangka Belitung tidak boleh hanya tergantung pada timah, tetapi pada kemampuan kita membangun keadilan sosial dan kemandirian ekonomi.

Jika momentum ini dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Bangka Belitung akan dikenal bukan hanya sebagai “pulau timah,” melainkan sebagai provinsi yang berhasil bertransformasi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi produktif dan berkelanjutan.

Dan itu dimulai dari hari ini — ketika kita semua, baik pengusaha, pemerintah, rohaniawan, maupun rakyat kecil, memilih untuk tidak hanya menambang timah, tetapi juga menambang harapan. (*)

Tinggalkan Balasan