*Dialog Sunyi Menuju 25 TH Provinsi Kep. Babel*
Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group
*) The Journey of Life Series – Tulisan Pertama dari Empat Tulisan
“Kadang untuk memahami kebenaran, kita harus terlebih dahulu berani keliru.”
BEGITU kalimat pembuka yang ditulis seorang aktivis, insan pers, Pendiri titahnusa.com, Muhamad Zen, di sebuah naskah yang ia beri judul parodik: Universitas Gunung Maras (UGM) yang saya baca di titahnusa.com. M. Zen saya kenal lewat tulisan-tulisannya dan pernah berdiskusi bersama dalam sebuah FGD Laskap Politik Kota Pangkalpinang Jelang Pilkada Ulang 2025, saat saya menjadi nara sumber bersama
Dr. Yan Megawandi
Sandi Pratama, M.Si
Erwan Halil, Direktur LP3ES: Fahmi Wibawa, Wakil Sekretaris AIPI: Dr. Novendra Hidayat dan Prof. Dr Ibrahim, Ketua AIPI Cabang Babel (berhalangan hadir.
Di balik senyum ironi M. Zen, tersimpan getir yang dalam — getir seorang anak kepulauan yang terlalu sering menyaksikan kebenaran kalah dengan kesepakatan, dan kejujuran kalah dengan kelicikan yang dilembagakan. (Baca selengkapnya di titahnusa.com dan dimuat kembali oleh aquilaindonesia.com sebagai basis dialog sunyi).
Gunung Maras yang ia jadikan simbol universitas itu bukan hanya titik tertinggi di Pulau Bangka.
Ia menjulang seperti hati nurani yang menolak tunduk pada dogma-dogma palsu zaman ini.
Dari sana, Zen menulis dengan cara orang yang sudah tak ingin marah — karena tahu, di negeri yang suka berdebat tentang “kebenaran”, kadang yang paling benar justru mereka yang diam dan tetap bekerja.

Kebenaran yang Tertawa dalam Kekeliruan
Di “Universitas Gunung Maras”, Zen mendirikan fakultas-fakultas yang tak lazim: Fakultas Hukum Perkeliruan, Ilmu Politik Perkeliruan, Teknik Perkeliruan.
Sebuah satire M Zen ini seolah lucu, namun di sanalah Babel menemukan cermin: bahwa hukum bisa salah arah, politik bisa buta nurani, dan logika bisa kehilangan hati. Yang keliru itu yo kita luruskan.
Tulisan Zen itu tak hanya menggoda akal, tapi menohok kesadaran kita yang mungkin terlalu lama menikmati absurditas Babel. Sebab di negeri ini, yang keliru sering dianggap kreatif, yang benar dianggap radikal,
dan yang diam — kadang justru yang paling waras.
Dialog Sunyi: Dari Kebenaran ke Keberanian
Izinkan saya, saudara Zen, berdialog denganmu dari lembah lain Gunung Maras — lembah yang masih berlumpur timah, tapi kini mulai kehilangan arah.
Engkau menulis tentang “keliru”, aku ingin menulis tentang “keberanian”.
Sebab setelah membaca artikel parodik itu, saya menyadari:
barangkali Babel bukan kekurangan kebenaran,
tapi kekurangan keberanian untuk menegakkannya.
Kebenaran di Babel kini seperti timah di dasar laut:
terpendam, dijarah, diselundupkan, dan diadili oleh mereka yang seharusnya melindunginya.
Demo 6 Oktober 2025 menjadi gema dari kegelisahan yang lama terpendam —
tapi selepas itu, apa yang berubah?
Otoritas Manajemen melalui Direktur Utama PT Timah Tbk Restu Widiyantoro “merestui” titik balik kebangkitan ekonomi dan merefresh tata niaga pertimahan dengan menyampaikan poin-poin “negarawanan” pro rakyat.
“Kami setuju harga pembelian timah dengan kadar SN 70 persen sebesar Rp 300.000 per kilogram. Kenapa kami setuju? Sebab, kami juga warga Bangka-Belitung. Semua karyawan kami sebanyak empat ribu orang lebih, warga Bangka-Belitung semua,” tegas Direktur Utama PT Timah Restu Widiyantoro di hadapan massa demo.
Dalam pertemuan di Ruang Rapat Utama Kantor Pusat PT Timah Tbk, 8 Oktober 2025 – 2 hari pasca demo – Direktur Utama PT TIMAH Tbk menegaskan kembali di hadapan perwakilan dunia pertimahan, bahwa PT TIMAH Tbk berkomitmen untuk mewujudkan ‘Timah untuk Rakyat’ agar kekayaan alam yang ada di Bangka Belitung ini bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
PT TIMAH Tbk merangkul para penambang rakyat melalui koperasi dan maupun kemitraan.
“Ini bukan pertemuan pertama dan terakhir, kita akan bentuk forum agar kita bisa berkomunikasi lebih intens. Kita ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat penambang dan juga kesejahteraan karyawan PT TIMAH Tbk sehingga ‘Timah Untuk Rakyat’ itu betul-betul dirasakan oleh masyarakat,” katanya.
Sebulan telah berlalu, Peringatan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan juga telah berlalu, namun Forkompimda sebagai “regulator” belum “memeras” madu komitmen PT Timah Tbk menetes ke para penambang dan kemudian ke perekonomian Babel. Regulator wajib menjaga keseimbangan dan harmoni sehingga yang dijanjikan benar-benar dijalankan di tingkat rakyat bukan di tingkat kolektor dan pengusaha besar.
Manakala janji janji itu mundur ditepati, lagi lagi, yang menjadi korban tetap rakyat kecil, sementara rakyat besar hanya menata ulang, bukan tabiat.
Kita menolak penambangan ilegal,
tapi kita juga menolak kebijakan setengah hati yang membiarkan rakyat di bawah menunggu dan menunggu bagai Waiting for Godot; sebuah lakon drama karya Samuel Beckett.
En attendant Godot, karya asli berbahaya Perancis mengisahkan dua
karakter, Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo), yang terlibat dalam berbagai diskusi dan pertemuan sambil menunggu tituler Godot, yang tidak pernah datang.
Kita ingin Babel bersih dari penyelundupan dan silakan Presiden Prabowo yang telah mengambil alih komando memerintahkan Super Puma, Drone dan Pasukan Elit menertibkan penambangan ilegal
tapi jangan biarkan ekonomi rakyat tenggelam bersama kapal yang dilarang berlayar. Entaskan rakyat Babel yang hampir tenggelam ekonominya.
Babel: Universitas Nyata Para Keliru
Mungkin, tanpa sadar, kita semua sudah menjadi alumni Universitas Gunung Maras. Kita pernah keliru mencintai kekuasaan,
keliru mempercayai janji-janji pembangunan,
keliru menganggap bahwa diam itu bijak.
Tapi di balik semua itu, ada niat yang tak pernah padam: niat untuk memperbaiki, untuk kembali berpihak pada rakyat kecil,
pada petambang, nelayan, petani, dan penjual kopi yang tetap bekerja di tengah absurditas kebijakan.
Maka, barangkali benar kata Zen: yang keliru bukanlah mereka yang gagal, tapi mereka yang berhenti belajar dari kegagalan dan Kekeliruan.
Dari Gunung ke Laut: Panggilan Akal Sehat Babel
Kita sudah terlalu lama memandang kebenaran dari balik kaca jendela kekuasaan. Kini saatnya menatapnya dari pantai, dari tambang, dari pasar, dari wajah rakyat sendiri.
Babel tak butuh lebih banyak ceramah kebenaran,
ia butuh keberanian moral untuk menata ulang tata niaga, untuk memastikan setiap batang timah menjadi berkah, bukan kutuk atau musibah.
Dan keberanian itu tidak harus lahir dari podium,
tapi dari meja rapat yang jujur, dari pena wartawan yang tak mau dibeli,
dari aktivis yang menulis bukan untuk menghakimi,
tapi untuk menyadarkan.
Di Antara Kebenaran dan Kekeliruan
Saudaraku Zen, engkau mendirikan Universitas Gunung Maras untuk menertawakan kebenaran yang sok suci, dan aku menulis ini untuk mengingatkan bahwa di bawah tawa itu, masih ada luka Babel yang belum sembuh.
Mungkin kita berdua berbeda bahasa, tapi kita sedang memikirkan hal yang sama: bagaimana membuat kebenaran tetap hidup, di negeri yang sudah terlalu pandai menyembunyikannya.
Sebab pada akhirnya, kita tidak ingin Babel hanya dikenal karena timahnya,
tapi karena keberaniannya mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Dan kalau memang untuk menjadi benar kita harus berani keliru,
biarlah kita berdua — dan siapa pun yang masih mencintai Babel —
keliru dengan kesadaran, bukan benar karena kepalsuan.
> “Dari yang keliru, kita menemukan arah menuju kebenaran.”
— motto Universitas Gunung Maras
tapi juga, barangkali, takdir kita sebagai orang Babel. Semoga!
Sumber: guardian/tvmovie/timah.com/titahnusa.com
*) The journey of life series- adalah tulisan serial berbagai tema oleh penulis, pasca 65 Th Kelahiran (15 Agustus 1960), 35 Th Berkarya sebagai Insan Pers Indonesia dan 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel.
#Presiden #Prabowo #Timah #timah.com #Babel #titahnusa.com






