*Rektor Pertama UBB 2006-2016, Ketua Lembaga Adat Melayu Babel
Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group
“Pendidikan sejati bukan hanya ruang kelas tetapi ruang batin tempat nilai dimekarkan.”
ADA TOKOH-TOKOH yang tidak hanya menempati ruang publik, tetapi juga menempati ruang batin sebuah negeri. Prof. Dr. Bustami Rahman adalah salah satunya. Dalam perjalanan panjang membangunKepulauan Bangka Belitung — dari kampus hingga gelanggang adat kebudayaan — beliau hadir bukan sekadar sebagai pemimpin, tetapi sebagai penjaga peradaban.
Bagi saya, hubungan dengan beliau bukan hubungan formal antara akademisi dan wartawan. Ini adalah hubungan dua anak bangsa yang sama-sama percaya bahwa peradaban harus dibangun dengan keseriusan, satu batu bata demi satu batu bata: beliau lewat kampus, saya lewat media.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang sadar bahwa nilai nilainya harus terus dijaga,” kata Prof Bustami.
Rektor yang Tidak Sekadar Membangun Universitas, tapi Menumbuhkan Peradaban
Sebagai Rektor pertama Universitas Bangka Belitung, Prof. Bustami bukan hanya meresmikan fakultas, struktur, dan kurikulum. Ia merintis apa yang saya sebut infrastruktur peradaban: tata kelola kampus yang beretika, ruang belajar yang menghidupkan pemikiran, serta atmosfer akademik yang perlahan menjadi denyut intelektual provinsi Babel.
Dalam banyak wawancara, beliau selalu menjawab dengan cepat — seolah-olah setiap pertanyaan yang kami ajukan bukan sekadar permintaan keterangan, tetapi wahana untuk menyemai ilmu kepada masyarakat.
Soal kemelayuan, soal sosiologi, soal masa depan pendidikan, beliau menjelaskannya dengan kejernihan seorang guru besar sekaligus kehangatan seorang tetua negeri.
Itulah Prof Bustami: lugas, jernih, dan selalu hadir.
Ke Adat Melayu, Kami Sowan
Setiap kali saya harus menulis atau mengambil sikap atas dasar adat dan kemelayuan — sebuah wilayah yang penuh pantang, penuh makna — langkah pertama saya selalu:
-sowan ke Datuk Bustami Rahman. Juga ke Datuk Emron Pangkapi dan Datuk Akhmad Elvian.
Kami meminta arahan, agar tidak tersesat dalam lorong-lorong kebudayaan yang harus dijaga kewibawaannya. Dan Prof Bustami selalu menerima dengan lapang, seperti orang tua yang membuka pintu rumahnya bahkan sebelum diketuk.
Ia pernah berkata, “Adat dan budaya adalah jangka bukan rantai. Ia menahan kita agar tidak hanyut.”
Ketika beliau memimpin Lembaga Adat Melayu (LAM) Negeri Serumpun Sebalai, lembaga ini terasa hidup; bukan sekadar simbol budaya, melainkan kompas moral bagi masyarakat Babel.
Saya sangat menghormati LAM karena dari lembaga inilah saya diberi kehormatan besar: ditabalkan sebagai Datuk Satya Negeri oleh Pejuang Provinsi/Ketua LAM H. Emron Pangkapi dan Gubernur H Rustam Effendi — sebuah gelar yang hingga kini saya jaga sebagai amanah.
Dan Prof Bustami adalah salah satu tokoh yang mendorong saya terus mengabdi kepada negeri ini, mengingatkan bahwa perjuangan saya antara 1999–2000 — saat menjadi “provokator” Yo Kite Punye Provinsi! melalui BANGKA POS — bukanlah perjuangan yang selesai, tetapi perjuangan yang harus dirawat hingga kini dan nanti.
“Pengabdian adalah bahasa paling jujur dari cinta pada negeri,” tandas Datuk Bustami pada suatu kesempatan.
Pertemuan Dua Perantau: Dari Babel ke Yogya dan dari Yogya ke Babel.
Ada keindahan kecil dalam hubungan kami: Prof Bustami – yang biasa menyapa saya dengan Mas Agus – menuntut ilmu ke Yogyakarta, lalu menikah dengan Putri Nitikan, Yogya— sebuah kampung yang nyaris tetangga dengan kampung saya, Kotagede.
Sedang saya dari Yogya menuju Bangka Belitung untuk mendirikan surat kabar Harian BANGKA POS. KORAN BABEL, Media Laskar Pelangi, hingga AQUILA Media Group; diawali menerbitkan BANGKA POS Mei 1999.
Sesudah Provinsi Babel terbentuk, kami berdua bertemu di Babel. Kami sering merenungi makna kebangsaan — bahwa Indonesia hanya bisa berdiri tegak jika setiap daerah memiliki anak-anak bangsa yang mau kembali, atau mau datang, untuk membangunnya dengan sungguh-sungguh.
Warisan yang tdak akan Padam
Prof. Bustami Rahman meninggalkan dua warisan yang jarang dimiliki seorang tokoh pada satu waktu:
1. Warisan intelektual — melalui buku, pemikiran, kuliah, dan percikan gagasan yang membentuk wajah pendidikan Babel.
2. Warisan adat dan martabat — melalui Lembaga Adat Melayu yang beliau rawat sebagai rumah nilai, rumah moral, rumah kebangsaan.
Pada dirinya, ilmu tidak terpisah dari etika; modernitas tidak menyingkirkan kebudayaan; intelektualitas tidak menghapus kerendahan hati.
Beliau adalah rektor.
Beliau adalah tetua adat.
Beliau adalah penjaga moral.
Beliau adalah penuntun jalan bagi banyak generasi.
Dan bagi saya — beliau adalah sahabat perjalanan dalam membangun peradaban Kepulauan Bangka Belitung melalui profesi kami; insan pers dan akademisi.
Prof Dr Bustami Rahman MSc meninggalkan kita lebih dulu berpulang ke Rahmatullah, Senin (17/11-2025) ukul 15.28 WIB di RSA UGM Yogyakarta.
Selamat jalan, Prof. Bustami Rahman.
Terima kasih atas segala budi dan cahaya yang Datuk tinggalkan.
Semoga amal jariyah ilmu, adat, dan kebijaksanaanmu menjadi penerang bagi perjalananmu menuju keabadian. Semoga!






