Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group
“Tugas dokter bukan hanya menyembuhkan luka, tetapi memulihkan harapan.”
(dr Adi Sucipto Sp B, AQUILA signitures)
SUATU PAGI awal 2000-an, ketika fasilitas kesehatan di Bangka Belitung masih jauh dari kata lengkap dan rumah sakit masih bertumpu pada keterampilan tangan lebih daripada kecanggihan alat, seorang wartawan BANGKA POS datang dengan mata berbinar. “Mas Agus, ada dokter yang baru saja menyambung jari putus di Rumah Sakit Bakti Timah.” Saat itu saya masih memimpin Bangka Pos Group sebagai Direktur/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi dan segera meminta, “Tulis secara multi angle, perspektif humanis dan detil serta apresiasi.”
Berita itu terasa mustahil. Tapi kemustahilan memang kerap memilih orang-orang tertentu sebagai tempat singgahnya — dan kali itu, ia memilih seorang dokter muda – saat itu – dengan tangan cekatan bernama dr. Adi Sucipto Sp.B. Dokter Adi merupakan seorang Dokter Spesialis Bedah Umum, pernah menjadi Direktur RS Bhakti Timah dan terakhir aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bangka Belitung. Ia memiliki keahlian yang mumpuni di bidangnya untuk memberikan pelayanan yang prima kepada pasien, mulai dari melakukan pemeriksaan sederhana hingga tindakan medis yang diperlukan.
Dari sisi pendidikan, dokter kelahiran Tanjung Uban, 19 Juli 1962 itu menamatkan pendidikan spesialisnya di Universitas Padjajaran. Terakhir, sebagai dokter aktif yang berkarier profesional, namanya sudah tercatat sebagai anggota aktif sebagai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Babel dan Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (PP IKABI).
Tangan yang tak Pernah Menyerah pada Keterbatasan
Kisahnya kala itu, seorang pasien datang dengan satu jari terpotong putus. Dalam kondisi seperti itu — di daerah yang baru saja memisahkan diri dari Sumatera Selatan dan belum memiliki fasilitas rekonstruksi sekelas kota-kota besar — banyak dokter mungkin hanya mampu mengobati luka dan menenangkan keluarga.
Tapi tidak dengan dr. Adi.
Dengan suara tegas, ia meminta keluarga dan rekan-rekan korban untuk kembali ke lokasi kejadian dan mencari potongan jari sebelum terlambat. Mereka berlari, menyisir tanah dan debu, hingga potongan kecil itu ditemukan — berlumur darah, mulai mengering, seakan menunggu nasibnya sendiri.
“Di ruang operasi, waktu adalah lawan – tetapi kemanusiaan senantiasa pemenangnya,” kata dr Adi.
Di tangan dr. Adi, potongan jari itu dikuliti dengan tatapan seorang seniman yang membaca kembali karyanya.
“Jaringannya masih hidup,” katanya. Perkataan yang bukan hanya diagnosa, melainkan doa.
Di ruang operasi Rumah Sakit Bakti Timah, dr. Adi dan tim menjadi tangan Yang Maha Kuasa. Di tengah keterbatasan alat, mereka bekerja dengan ketelitian yang nyaris asketis. Dan keajaiban itu terjadi: jari yang terputus tersambung kembali, bersatu, berfungsi, hidup.
“Setiap detik berarti bagi pasien; itulah sebabnya kita harus bergerak cepat dan tepat.”
Berita itu kami tulis dengan segenap hati di halaman depan BANGKA POS— dan dunia Kedokteran nasional pun menoleh. Nama dr. Adi melesat ke panggung seminar, menjadi pembicara, menjadi rujukan. Dari sebuah provinsi kecil yang tengah meraba masa depan, lahirlah seorang dokter bedah yang memperlihatkan bahwa kecakapan manusia bisa melampaui batas-batas geografis dan alat yang belum tersedia.
“Berkat berita/tulisan Mas di BANGKA POS, saya diundang di berbagai seminar,” kata dr Adi atas kisah suksesnya.
Ia berkata, “Teknologi bisa terbatas, tetapi ketulusan seorang dokter tidak boleh punya batas.”
Jantung yang Dikejar Waktu
Namun hidup selalu menyimpan ironi bagi mereka yang gemar menyembuhkan.
Pada suatu hari, ketika bermain futsal, dr. Adi terkena serangan jantung. Dalam kepanikan yang samar – dokter Adi berbisik, ““Harus dirawat di Jakarta. Dan saya segera menelpon kolega saya ði RSBT.”
Ia tahu waktunya tipis. Ia tahu jantung tidak suka ditunda.
RSBT telah bersiap. Protap telah diberikan melalui telepon. Tapi satu hal menghalangi: bandara sudah tutup. Pesawat Sriwijaya Air terakhir yang menginap di apron sudah dimatikan mesinnya.
Di sinilah Babel menunjukkan jati dirinya.
Pertemanan, persaudaraan, dan empati melebur menjadi gotong royong yang tidak kalah dramatis dari adegan penyelamatan nyawa dalam film. Bandara Depati Amir dibuka kembali. Atas bantuan Hendry Lie dan Chandra Lie, Sang owner, pesawat Sriwijaya Air kembali dinyalakan, dan seorang dr Adi dalam kondisi kritis diterbangkan menembus gelap malam menuju hidup.
Dan dokter Adi pun selamat serta terus mengabdi di Babel hingga 14 November 2025 jam 10.30 WIB.
“Setiap nyawa yang tergolong adalah alasan untuk terus mengabdi,” kata dokter Adi pada suatu ketika.
Memang. Sahabat apa pun seorang dokter, ia tetap murid dari pengalaman dan empati.
Dokter yang ramah dan suka bercanda itu menutup senyum abadinya di ICU IHC RSBT Pangkalpinang dan jenazahnya dimakamkan di Bandung, Jabar.
Mungkin di situlah dr. Adi memahami bahwa penyelamatan bukan hanya peristiwa medis — tetapi peristiwa kemanusiaan. Dan mungkin pula dari sanalah tumbuh panggilannya untuk naik ke panggung lain: DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tempat ia mengartikulasikan pelayanan kesehatan sebagai hak rakyat, bukan sekadar fasilitas.
Di Parlemen, Ia Tetap Dokter
Sebagai Anggota DPRD Babel dari Partai Gerindra, ia duduk di Komisi IV dan menjabat sebagai Ketua IDI Babel. Statusnya politisi tidak pernah menghapus identitas lamanya:
ia tetap seorang dokter yang mendengar dengan stetoskop dan berpikir dengan nurani.
Dalam reses-reses, ia menyerap keluhan tentang BPJS, layanan rumah sakit, penerangan jalan, persoalan-persoalan sepele namun menentukan hidup rakyat. Dalam setiap sosialisasi Perda Kesehatan, ia membawa pengalaman ruang bedah ke ruang sidang.
Kebijakannya tidak lahir dari teks, tetapi dari puluhan ribu denyut nadi yang pernah ia sentuh.
Ketua DPRD Babel Didit Srigusjaya mengkristalkan bhakti dr Adi Sucipto di dunia kesehatan dan legislsi sebagai sosok teladan berjiwa sosial tinggi.
“Semoga dr Adi Husnul Khatimah, diluncurkan dan diterangkan kuburnya. Beliau pribadi berjiwa sosial dan empati yang tinggi dan sangat peduli terhadap dunia kesehatan khususnya Babel,” kata Didit mengenang dr Adi.
Didit mengenang, meski dalam kondisi sakit, “Dokter Adi Sucipto tetap melaksanakan aktivitasnya sebagai wakil rakyat dan menjalankan tugas profesionalnya sebagai ahli bedah.”
Bagi saya, dokter Adi memiliki spirit persahabatan yang ĺuar biasa. Sebagai Direktur RSBT dan dokter bedah beliau selalu menjawab konsultasi kesehatan via Blackberry, Whatsapp maupun langsung tatkala bertemu.
Beberapa kali anggota keluarga opname di RSBT beliau selalu menyempatkan diri bezoek, mensupport dan memberikan advice hidup sehat dengan gaya practical yang cair dan ringan.
Kepergian yang Meninggalkan Jejak Panjang
Kini, dr. Adi Sucipto telah kembali ke haribaan Allah SWT. Ia meninggalkan kita dengan satu warisan yang sederhana namun abadi:
Bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berkarya.
Bahwa pelayanan adalah ibadah yang paling sunyi tapi paling mulia.
Bahwa seorang manusia dapat menyembuhkan banyak hal — tubuh, luka, bahkan harapan.
“Dan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang membuat orang lain tetap hidup.”
Selamat jalan, Dokter Adi!
Terima kasih atas jari-jari yang Engkau sambungkan, atas nafas yang Engkau selamatkan, atas rakyat yang Engkau perjuangkan.
“Waktu memang terbatas, tetapi pengabdian menjadikannya abadi.”
Semoga segala karya penyembuhanmu menjadi cahaya yang memudahkan perjalananmu di kehidupan yang abadi, di sisi Sang Penyembuh Agung!
Teriring doa kami, teriring hormat dari bumi Serumpun Sebalai yang selalu engkau jaga.






