Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group
Pendiri/Perintis
BANGKA POS GROUP
*)The Journey of Life Series
Refleksi 25 Th Provinsi Kepulauan Babel
ADA GETARAN tua yang selalu saya rasakan ketika berdiri di atas tanah timah. Getaran itu kadang lirih, kadang seperti desau angin yang membawa kabar dari masa silam. Orang Melayu dan Tionghoa dan suku-suku lainnya percaya, tanah tidak hanya menjadi pijakan—tanah merekam apa yang kita lakukan terhadapnya, dan suatu hari ia berbicara kembali.
Sejarah pertimahan Babel itu seperti kitab kuno yang setiap halamannya basah oleh air mata. Dulu, jauh sebelum Republik berdiri, tanah ini sudah dijarah penjajah.
Belanda menambang timah seperti mengeluarkan jantung pulau sedikit demi sedikit. Timah dari Bangka Belitung menghidupi kota-kota besar di Eropa, sementara orang Melayu di pesisir masih menanak harapan di dapur-dapur kayu.
Sesudah masa kolonial yang menguras perut bumi, terjadi nasionalisasi timah yang membawa harapan, kemudian perubahan UU Minerba tahun 2000-an yang menghanyutkan timah keluar dari status mineral strategis, masuknya PT pertimahan swasta, dan akhirnya luka besar itu terjadi: megakorupsi 271–300 triliun.
Angka itu menjadi sebuah angka yang terasa seperti jurang antara rakyat dan janji kesejahteraan, walau disebut sebut itu kerusakan ekologis. Dan puncaknya tersimpan dalam kenangan 6 Oktober 2025—hari ketika rakyat Babel turun ke jalan, bukan untuk marah, tapi untuk mengingatkan negara bahwa pulau ini masih punya jiwa.
Ada janji kebangkitan ekonomi timah berupa kesepakatan kenaikan harga timah menjadi Rp 300.000 SN 70 Persen. Penjagaan atas komitmen dari semua elemen menjadi awal kebangkitan ekonomi timah Babel. Kenyataannya?
Restu dari Tengah Gelombang
DALAM pusaran itulah muncul suara yang terasa berbeda: Restu Widiyantoro, Dirut PT Timah Tbk.
Dalam catatan ǰurnalistik saya, ia adalah satu dari sedikit pemimpin pertimahan yang tidak hanya bicara angka, tetapi bicara “surga.”
Ia bukan hanya bicara produksi, profit, dan strategi seperti biasanya. Ia bicara “surga”—kata yang tak mungkin keluar kecuali dari seseorang yang memahami betapa dalam luka Babel selama ini.
“Saat ini kinerja produksi PT Timah menunjukkan tren yang meningkat dengan adanya dukungan dari Satgas. Kami optimis bisa mencapai target yang telah ditentukan.
Mudah-mudahan dengan strategi ini keuntungan lebih naik sehingga Babel bisa menjadi “surga” bagi masyarakat yang tinggal di Bangka Belitung dan masyarakat Indonesia,” harap Restu Widiyantoro dalam Rapat Dengar Pendapat Bersama Komisi VI DPR RI tentang kinerja Korporasi Semester 1 Tahun 2025 dan road map kinerja tahun 2025 yang berlangsung di DPR RI, Jakarta pada Senin (22/9/2025).
“Surga” di dunia yang kita impikan dan citakan bersama tentunya bukan hanya tempat-tempat mempesona seperti Santorini, Maladewa, Great Barrier Reef Australia, Plitvice Lakes Croatia, Aurora Borealis, atau Kepulauan Togean, Indonesia saja, melainkan juga keadaan sosial ekonomi masyarakatnya yang sejahtera; sandang, pangan, papan, pendidikan tersedia secara memadai bahkan berlebih.
Kita mengapresiasi pernyataan Dirut Restu yang tidak egosentris pada korporasinya atau negara saja, melainkan menjanjikan “surga” juga pada masyarakat Babel, bahkan Indonesia.
Tetapi “surga” butuh pintu, dan pintu itu bernama aturan. Karena itu Restu menyinggung kebutuhan percepatan PP turunan UU Minerba.
Bagi pembaca yang mungkin bertanya PP yang mana?—yang dimaksud adalah PP yang akan menetapkan timah sebagai mineral kritis strategis, sekaligus mengatur tata kelola–tata niaga secara ketat dan terang; sebuah payung hukum agar negara tidak lagi kalah oleh jaringan gelap.
Dengan PP itu, timah kembali menjadi milik rakyat—bukan milik bayang-bayang.
Nagasari: Penjaga Rezeki Pulau
Hari ini, 21 November 2025, saya kembali bersyukur kepada-Nya atas perintah-Nya – melalui Tokoh Legendaris Pers Indonesia, Owner/Chairman Kompas Gramedia Bapak Jakob Oetama, Bapak Mamak Sutamat, Bapak Herman Darmo dan Bapak Sentrijanto (Dirkel Persda/Tribun Network) – diperkenankan turut menyalakan, mengobarkan nyala api semangat, Yo Kite Provinsi! 25 Mei 1999 (26 Tahun silam) dalam tagline BANGKA POS, sebagai Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab/Pemimpin Umum sekaligus Direktur BANGKA POS.
Atas Ridho-Nya, bersama keberanian para Pejuang Provinsi yang menaruh tuntutan bertalu-talu, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akhirnya terbentuk 21 November 2000, 25 tahun silam.
Dalam Rubrik GETAR di BANGKA POS yang terbit tiap Minggu (1999-2016) saya pernah menulis bahwa jika Babel berhasil menegakkan tata kelola yang benar, maka pulau ini akan menjadi “surga” nagasari.
Bagi siapa pun yang belum akrab, nagasari saya pakai sebagai metafora Melayu kuno:
Naga: penjaga bumi, penyangga keseimbangan.
Sari: inti, esensi, rezeki yang bersih.
Maka nagasari berarti: rezeki yang dijaga, bukan “dijarah.”
Jika tata kelola timah dibenahi, jika izin tidak lagi menjadi permainan, jika legal–ilegal “disapu bersih” oleh Satgas yang juga bersih, maka Babel bukan lagi pulau yang dihisap, tetapi pulau yang memberi sari kehidupan bagi seluruh negeri.
Tajalli: Isyarat dari Alam
BAGI SAYA, – dan kita semua – alam adalah “kitab suci” kedua. Dalam tradisi tasawuf ada istilah tajalli—penyingkapan, ketika cahaya Tuhan tampak dalam realitas.
Lubang tambang menganga itu bukan hanya kerusakan ekologis; itu adalah tajalli murka, isyarat bahwa tanah sedang lelah menanggung kerakusan manusia.
Sebaliknya, ketika laut Tanjung Tinggi memantulkan cahaya senja tanpa noda, atau ketika ombak di Parai membelai pasir tanpa busa hitam, itu adalah tajalli rahmat, tanda bahwa alam sedang mengampuni kita.
Jika tata kelola timah benar, maka tajalli rahmat akan lebih sering turun ke pulau ini.
Babel tidak mungkin menjadi “surga” manakala ekologinya dibiarkan menjadi neraka.
Gubernur sebagai Penjaga “Surga”
DI TITIK inilah peran Gubernur Babel Hidayat Arsani menjadi krusial—bahkan mistis dalam makna politiknya.
Kita semua berharap, “Surga Babel” yang diucapkan Dirut Restu akan menjadi nyata karena didukung oleh Gubernur Hidayat Arsani;
dalam mengulurkan sekoci ekonomi pada saat transisi penegakan legal ilegal dan perdagangan legal dan gelap.
Dalam memberikan wilayah pertambangan rakyat yang simultan hari hari ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Didukung Gubernur Hidayat Arsani dalam menciptakan ruang penambang rakyat tanpa was-was akan razia dan harga yang cantik di tingkat penambang rakyat.
Didukung Gubernur Hidayat Arsani dalam mengawal PP Minerba hingga terbit dan dalam menjaga hilirisasi tetap di rel,
“Surga” akan tercipta manakala Gubernur dan Forkompimda menolak kompromi dengan jaringan gelap sekaligus
menyatukan Forkopimda dan DPRD sebagai penyangga,
dan yang terpenting:
Gubernur Hidayat Arsani berdiri di sisi rakyat, bukan di sisi ruang gelap.
Gubernur adalah penjaga gerbang—penentu apakah Babel masuk ke “surga” atau kembali ke lubang sejarah.
Kita percaya Gubernur Hidayat Arsani bukan hanya administrator. Ia adalah:
penjaga tanah,
penyambung suara laut,
penerjemah doa rakyat,
dinding terakhir sebelum Babel kembali jatuh ke tangan gelap.
Kita berdoa—dalam makna mistikal Melayu yang paling purba— agar gubernur kita hari ini mampu membaca isyarat tanah dan laut yang sedang resah. Bahwa Babel hanya akan menjadi “surga” jika ia:
berani menindak perizinan sesat,
berani mengunci jalur ilegal,
berani menertibkan jaringan yang hidup di antara celah-celah hukum,
dan berani berdiri bersama rakyat, bukan bersama bayang-bayang yang merusak negeri ini.
Last but not least. Kita semua berharap dan berdoa Semoga Gubernur Hidayat Arsani bersama Forkompimda dan semua elemen yang berkehendak “mencipta” surga berani pula sekaligus dan simultan membangkitkan ekonomi rakyat hari hari ini.
Jika gubernur ragu, maka “surga” itu akan kembali menjadi asap. Jika gubernur tegas, maka Babel akan menjadi nagasari—pangkal rezeki negeri.
Doa di Bukit Sentosa
DAN KINI saat Babel memasuki usia 25 tahun sebagai provinsi, saya menulis semuanya dengan kesadaran bahwa waktu saya di dunia pun punya ujung. Banyak lahir insan pers muda di Babel, – termasuk Gubernur Hidayat Arsani yang juga insan pers, Owner Media Rakyat POS – yang akan mengawal terciptanya “surga” di Babel.
Saya sudah memilih tempat peristirahatan terakhir saya kelak: Bukit Sentosa.
Dari sana saya ingin memandang pulau ini di senja-senja terakhir hidup saya.
Jika Tuhan berkehendak, mungkin saya akan menghembuskan nafas terakhir di tempat yang memberi saya makna:
di kediaman tempat cinta kasih keluarga mekar di Jl Balai, yang “bertetangga” dengan “istana” Datuk Sri Emron Pangkapi, tempat saya bersama puluhan tokoh Provinsi ditabalkan sebagai Datuk Satya Negeri.
di Pantai Parai, Bangka, tempat ombaknya membawa doa para pelaut; atau
di Perbukitan Pantai Rebo
tempat untaian wisata religi negeri harmoni megah berdiri: Taman Bintang Samudra, Puri Tri Agung, Pagoda Nusantara , Dewi Kwan Im (eksisting) dan Masdjid Ceng Ho, Pura (dalam rencana),
atau
di Tanjung Tinggi, Belitung, tempat batu-batu granit seperti sujud menghadap cahaya.
Atau di tepi Laut Cina Selatan yang pantainya menjuntai memberi keindahan tak bertepi…
saya percaya bahwa Gubernur Hidayat Arsani dan gubernur-gubernur selanjutnya telah menjadi penjaga gerbang, Dirut Restu dan dirut-dirut selanjutnya menjadi penerus cahaya, dan rakyat Babel akhirnya menjadi pemilik surga, bukan penonton surga orang lain.
Saya tidak takut mati. Yang saya takutkan hanyalah: Babel belum menjadi “surga” ketika saya pergi.
Jika “Surga” Itu Datang
Jika suatu hari “surga Babel” benar-benar lahir:
ketika timah tidak lagi meneteskan luka,
ketika laut kembali jernih, ketika perizinan menjadi terang,
ketika para pemimpin berdiri lurus,
ketika PP Minerba turun sebagai payung,
dan ketika rakyat merasakan sari rezekinya—
maka saya akan menutup mata di Bukit Sentosa dengan senyum.
Karena saya tahu,
negeri Serumpun Sebalai, Negeri Laskar Pelangi, Negeri To Ngien Fa Ngien Jit Jong, Negeri Harmoni yang saya turut perjuangkan lewat pena dan air mata telah menemukan jalannya menuju cahaya.
“Surga” bukan hadiah.
“Surga” adalah hasil keberanian sebuah negeri menjaga berkah dan amanah Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta Sejati timah.
Dan saya percaya: Babel, pulau timah, pulau doa, pulau harapan— sedang menuju ke sana. Semoga!
*) The journey of life series- adalah tulisan serial berbagai tema oleh penulis, pasca 65 Th Kelahiran (15 Agustus 1960), 35 Th Berkarya sebagai Insan Pers Indonesia dan 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel.






