Oleh: Campa Champaka Cempedak/NIRWAN, Pemerhati Budaya
DARI UCAPAN urang urang tue turun menurun sebutan gunong serta kematang/matang sebutan untuk gunong yang kecil yang kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan bukit.
Bahasa memiliki genealogi, adapula yang menyebut bahwa bahasa menunjukkan bangsa.
Sejarah tidak hanya berlaku pada sosok raja dan keturunan, namun bahasa dan kata kata juga turut andil di dalamnya
Gunong Gadong yg hampir menyatu dengan gunong kubing turut pula menyatukan Kampong Lassar dan Perepat.
Gadong merupakan flora. Sebaran Gadong tidak hanya pada gunong namun juga di Tebat (punggir aik kecil), padang (tempat dataran terbuka).
Mengenal Gunong Gadong tentu pula mengenal kearifan lokal penduduk yang hidup dengan alam dan kisah sastra tinggi bernuansa magis.
Alkisah “Tatkala Bulan Rayak Bersinar, merunduklah Bulo bulo antara Gunong Kubing ke Gunong Gede, semilir angin merambat pelahan gemerincing suare bulu perindu, belalu lalang para sang buyut diatas temaran sinar Rambulan”
Tidak hanya sastra tinggi yg dikisahkan, namun panorama alam puncak Gunong Gadong menyegarkan pikiran, mata, hati, ketika hamparan permadani hijau serta megahnya laut pesisir memulihkan kesadaran bahwa kita hanya insan yàng begitu kecil diatas sebuah gunong.
Membayangkan dimensi lampau Kampong La Sar ( aliran sungai) menguatkan kembali akan keterhubungan dua sejoli gunong dan payak (hunian di lembah).
Budaya hidup kemandirian dari sungai, ume, sunggar madu, nirok nanggok, dan kelekak buah buahan telah ada di masa itu hingga kini pun masih bisa dikatakan cukup bertahan, hendaklah terus diwariskan, meskipun Belitung pernah melalui penguasaan beberapa masa kolonial.
Kemandirian masyarakat diharap menjadi kemadirian bangsa begitu pula negerinya.
Mengenal Gunong Gadong tentu akan merase bangge menjadi urang Kampong La Sar, mengenal masa lalu mengenal pula jati diri urang Adat Belitung.
(Campa,110523)
*Nirwan adalah Pemerhati Budaya, tinggal di Belitung Timur.