DPRD Babel Gelar RDP Bersama Organisasi Pers Terkait RUU Penyiaran

oleh -

PANGKALPINANG, aquilaindonesia.com – Sejumlah organisasi pers di Babel menyampaikan aspirasinya terkait penolakan RUU penyiaran kepada DPRD Provinsi Kepulauan Babel, di Kantor DPRD Provinsi Kepulauan Babel, Rabu (05/06/2024).

Ketua IJTI Babel, Joko mengatakan bahwa semua organisasi pers menaruh perhatian pada RUU yang telah dibahas dalam Badan Legislasi DPR pada 27 Maret 2024 lalu.

Dalam proses penyusunan tersebut, ia sangat menyayangkan dalam draf RUU tidak melibatkan berbagai pihak, terlihat dari banyaknya penolakan terhadap RUU Penyiaran

“Organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers tidak dilibatkan dalam penyusunan itu, sehingga banyak penolakan terhadap RUU penyiaran tersebut,” ucapnya.

Joko juga menjelaskan bahwa pihaknya juga menolak RUU itu karena mengandung beberapa pasal yang dapat mengancam kebebasan pers.

Seperti pasal 50 B Ayat 2 huruf C yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal ini dapat menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.

Mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi? Selama karya itu memegang kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar.

“Dibuat secara profesional serta untuk kepentingan publik, maka tidak boleh dilarang,” ujarnya.

Pasal 50 B ayat 2 huruf K yang terkait penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, serta pencemaran nama baik, juga bersifat multitafsir.

“Pihaknya menilai, pasal ini bisa menjadi alat untuk membungkam jurnalis atau pers,” tutupnya.

Sementara itu, Fakhruddin halim, sekretaris PWI Babel , menyoroti adanya potensi tumpang tindih antara RUU Penyiaran dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 50 B Ayat 2 C yang melarang penayangan karya investigasi, misalnya, bertentangan dengan PAsal 4 Ayat 2 UU Pers.

Pasal tersebut mengatur bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Begitupun dengan Draf RUU Penyiaran Pasal 8 A Ayat 1 yang menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

Padahal, itu bertentangan dengan UU Pers Pasal 15 Ayat 2 Huruf C tentang salah satu tugas Dewan Pers. Pasal itu menyebutkan, Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Fakhruddin menambahkan, RUU Penyiaran tidak hanya berdampak kepada komunitas pers, tetapi juga publik. Apalagi, pers merupakan salah satu pilar dalam demokrasi.

“Jika penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi dilarang sama saja menghalangi hak publik mendapatkan informasi yang benar dan mendalam,” ujarnya.

Maka dari itu IJTI,JMSI, dan PWI Babel menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak dan mendesak agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut;
  2. Meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak, termasuk organisasi jurnalis, Dewan Pers, dan publik;
  3. Mengajak semua pihak untuk terlibat aktif dalam mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers dan hak berpendapat warga di berbagai platform.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD provinsi Babel Heryawandi mendukung petisi penolakan sejumlah jurnalis terkait RUU Penyiaran. Bahkan sekretaris dprd Efredi Effendy,  juga siap menandatangani petisi penolakan itu dan akan menyampaikan aspirasi jurnalis ke DPR RI.

“Kami mendukung penghapusan pasal yang multitafsir di RUU Penyiaran. Kami juga mendukung independensi media,” ungkap Heryawandi. (rill/sywl)

Tinggalkan Balasan