Oleh: Agus Ismunarno
Wartawan Utama
DI SUDUT-SUDUT kota Pangkalpinang dan perdesaan Bangka yang sunyi selepas maghrib, baliho-baliho para calon mulai menebar senyum dan janji. Wajah-wajah itu seperti memanggil: “Pilih aku. Aku pembawa harapan.”
Namun rakyat yang pernah kecewa dengan memenangkan kotak kosong, kini diam. Mereka tak ingin memilih sekadar senyum. Mereka menunggu isi—bukan sekadar baliho.
Setelah kotak kosong menang, masyarakat seakan berkata:
> “Kami tidak menolak pemimpin. Kami menolak kehampaan.”
Kampanye Peradaban
Kni empat calon kepala daerah di Pangkalpinang dan empat di Bangka berkampanye. Tapi suara rakyat bukan hanya suara yang bisa dibeli dengan poster dan panggung hiburan.
Rakyat kini haus gagasan. Ingin tahu:
Bagaimana programmu menanggulangi banjir yang saban hujan membuat kota kami seperti kolam?
Bagaimana engkau memberdayakan kecamatan bukan sekadar jadi wilayah administratif, tapi pusat-pusat keunggulan?
Apakah pasar akan tetap kumuh atau bisa kau sulap jadi ruang ekonomi dan budaya lokal?
Apakah kampanye ini akan menggaduhkan, atau kau ajak kami berpikir jernih tentang masa depan anak-anak kami?
Dalam dunia yang sedang kelelahan oleh kebisingan politik, kita butuh pemimpin yang mengajak hening. Bukan diam yang pasrah, tapi hening yang mencipta:
> “Peradaban besar lahir bukan dari amarah, tapi dari keteduhan hati dan kejernihan pikiran.”
Bangka dan Pangkalpinang hari ini butuh pemimpin bukan yang terdepan berswafoto, tapi yang paling belakang menata pondasi. Yang melihat kota bukan hanya dari drone, tapi dari pasar basah, lorong kecil, dan rumah-rumah rakyat yang gelap saat hujan.
Pilkada bukan tentang pesta. Ini tentang peradaban.
Dan peradaban sejati dimulai dari satu kata sederhana: mendengar.
> “Satu telinga yang benar-benar mendengar lebih bermakna dari seribu slogan kampanye.” Semoga!
*/Agus Ismunarno adalah pendiri dan Pemimpin Redaksi BANGKAPOS GROUP (1999-2014), Pendiri dan Pemimpin Redaksi Media Negeri Laskar Pelangi (2016-2022) dan AQUILA Media Group (-sekarang)






