Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
AQUILA Media Group
*) -the journey of life series
aquilaindonesia.com- JAKARTA 25 Agustus 2025 kembali berdenyut dengan gelombang suara rakyat. Di depan kompleks parlemen, spanduk-spanduk terbentang: “Bubarkan DPR!”
Sebuah seruan yang keras, penuh amarah, namun sejatinya lahir dari luka batin—luka karena merasa tidak didengar, tidak dipahami, tidak diperlakukan setara.
Bukan gaji pokok yang menjadi bara, melainkan penyesuaian tunjangan: bensin, beras, rumah, komunikasi. Angka-angka yang bagi rakyat hanyalah mimpi, tetapi bagi anggota dewan menjadi realitas bulanan. Ketika itu disandingkan dengan tayangan joget di Sidang Tahunan MPR, lengkaplah ironi.
“Dalam demokrasi, simbol lebih berbahaya daripada angka,” tulis filsuf politik Hannah Arendt.
Angka bisa dijelaskan, tetapi simbol bisa melukai. Joget di forum kenegaraan—di mata sebagian rakyat—adalah simbol ketidakpedulian.
Suara Publik vs Benteng Konstitusi
Massa berteriak “bubar DPR”, seolah ingin merobohkan benteng demokrasi. Namun UUD 1945 tidak memberi jalan bagi seorang presiden atau siapapun untuk menghapus lembaga legislatif. Jalan yang sah hanyalah pemilu, mekanisme etik, revisi undang-undang.
Maka yang sebenarnya diminta bukan pembubaran, melainkan pembersihan nurani.
Seperti kata Bung Hatta, “Demokrasi bukanlah semata-mata soal suara terbanyak, melainkan kesediaan mendengarkan suara yang paling kecil sekalipun.”
Luka Simbolik
Kenaikan tunjangan mungkin sah secara administratif, tetapi ia terasa tidak adil di tengah harga sembako yang terus mendaki. Ditambah tarian di ruang sidang, rakyat merasa dilecehkan.
Rasa ini bukan sekadar soal rupiah, tetapi soal martabat.
Di sinilah DPR dituntut bukan hanya membuat undang-undang, tetapi menjadi teladan etika.
Sebab, seperti kata Kahlil Gibran, “Engkau adalah pemimpin bila engkau berjalan di depan dengan kerendahan hati, di tengah dengan keadilan, dan di belakang dengan kasih.”
Jalan Keluar: Transparansi dan Kinerja
Aksi massa 25 Agustus 2025 ini bisa dibaca sebagai cermin: rakyat ingin wakilnya transparan, sederhana, dan bekerja. Solusi ada di meja DPR sendiri: membuka rincian gaji & tunjangan secara real-time, mengikat tunjangan pada kinerja nyata, ada Key Personal Indicator, menegakkan kode etik dalam sidang, dan berdialog terbuka dengan konstituen.
“Kepercayaan publik adalah modal yang tidak bisa dicetak oleh percetakan uang,” ungkap Paus Fransiskus.
Ia hanya lahir dari keteladanan dan keberpihakan pada yang lemah.
Penutup
Gelombang protes di Senayan 25 Agustus 2025 bukanlah akhir demokrasi, melainkan alarm keras agar dewan kembali ke khitahnya.
Jika DPR hanya sibuk menambah fasilitas, ia akan kehilangan legitimasi. Tetapi jika DPR memilih merawat nurani dan etika, maka seruan “bubar DPR” akan berganti menjadi doa: “Hidup demokrasi yang bermartabat.” Semoga!
*)-the journey of life series- adalah tulisan serial berbagai tema oleh penulis, pasca 65 Th Kelahiran (15 Agustus 1960), 35 Th Berkarya sebagai Insan Pers Indonesia dan 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel.
#dpri #dprd #demo #parlemen






