Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi
ÀQUILA Media Group
DI KEGELAPAN bangsa yang nyaris putus harapan, selalu ada satu nyala kecil yang menolak padam.
Ia mungkin datang dari ruang yang tak ramai sorak-sorai, dari balik meja penuh grafik dan laporan, tapi sinarnya menembus jauh ke jantung republik: kejujuran fiskal.
Nama cahaya itu hari-hari ini: Purbaya Yudhi Sadewa.
Bukan sekadar pejabat; ia adalah suara bening di tengah sistem yang mulai kehilangan gema nurani.
1. Ketika Uang Tak Lagi Mengalir
Purbaya datang dengan keberanian yang sederhana tapi menohok:
uang rakyat bukan untuk tidur di bank,
melainkan untuk hidup di jalan, di sawah, di ruang belajar, dan di dapur rakyat kecil.
Sebab apa artinya surplus jika desa tetap gelap?
Apa maknanya stabilitas jika gizi anak bangsa menurun dan harga hidup menyesakkan dada?
Negara bukan bank. Negara adalah pengelola asa.
Namun hari-hari ini, laporan keuangan justru menjadi monumen diam: triliunan rupiah mengendap di kas daerah, menganggur seperti mimpi yang tak jadi kenyataan.
Apakah provinsi mau hidup dari bunga deposito?
Pertanyaan itu menggema keras — dan Purbaya menjadi orang yang berani mengucapkannya dengan terang.
Hari setelah pernyataan Menkeu Purbaya, seperti biasa klarifikasi. Tapi seperti biasa pula publik susah memaklumi.
2. Gugatan Moral yang Senyap
Dalam sistem yang kerap menutup mata, kejujuran adalah bentuk revolusi yang paling senyap.
Purbaya tidak berorasi di jalan; ia menggugat dari ruang rapat dan laporan audit, dengan suara yang tenang namun tajam:
“Rakyat menunggu belanja negara yang benar-benar bekerja.”
Ia tahu, banyak di antara pengelola negeri yang bermain di wilayah abu-abu:
ada dirjen yang salah tapi tak diproses hukum,
ada birokrat yang menumpuk proyek tanpa rasa bersalah,
dan ada politikus yang fasih berkata “demi rakyat” sambil menghitung laba pribadi dan justru menjerat rakyat.
Terhadap semua itu, Purbaya memilih berdiri di tepi terang —
dan itulah keberanian yang langka di zaman ini.
Kejujuran memang tidak populer. Tapi seperti api kecil, ia bisa menyalakan hutan kesadaran.
Maka ketika suara Purbaya terdengar, rakyat mulai percaya bahwa pemerintahan ini masih punya wajah yang ingin bersih.
Bahwa di antara mereka yang berkuasa, masih ada yang takut kepada Tuhan dan menghormati akal sehat publik.
Dan dalam semesta politik hari ini, cahaya itu tak berdiri sendiri.
Ada Prabowo — pemimpin dengan intuisi sejarah dan nasionalisme keras.
Ada Gibran — anak muda yang membawa harapan generasi baru.
Dan ada Purbaya — penjaga neraca moral yang memastikan rakyat tak lagi sekadar angka di laporan keuangan.
4. Credo Rakyat
Dari lorong kampung hingga gedung kementerian, dari nelayan di ujung timur hingga petani di barat, satu doa mulai berbisik keras:
semoga keberanian tidak padam oleh kompromi.
Semoga cahaya yang kecil itu tidak ditiup oleh angin politik yang busuk.
Dan bila suatu saat arus perlawanan datang — dari mereka yang terusik oleh kejujuran —
maka rakyatlah yang akan berdiri di belakangmu.
> Pak Prabowo – Mas Gibran – Pak Purbaya
Bertiga Anda akan dilawan.
Jangan takut.
Rakyat akan bersamamu, sejauh kesetiaanmu pada rakyat. Semoga!







