Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group
Di barat daya Tiongkok, pada suatu pagi akhir Juni 2025, langit tampak biasa. Awan menggantung pelan seperti kelopak bunga yang lupa mekar.
Tapi di balik keheningan itu, sebuah gelombang diam-diam menghimpun tenaga.
Lalu, dalam hitungan jam, ia menerjang seperti seekor naga yang terbangun dari tidur panjangnya.
Sungai Rongjiang dan Liu, yang biasanya mengalir tenang, meluap hingga melampaui tinggi normal lebih dari 4 meter di Meilin, Guangxi, dan 114,6 meter di Rongjiang, Guizhou.
Sejak Selasa, 24 Juni 2025, air mulai naik cepat, menghantam lembah dan kota-kota kecil. Hari itu, Tiongkok tak hanya diguyur hujan. Ia disapu oleh sejarah.
Warga dan Air yang Menjadi Takdir
“Airnya naik begitu cepat… Kami tak sempat menyelamatkan apa pun,” ujar seorang warga, menggambarkan detik-detik di mana rumah, barang, dan bahkan hewan peliharaan hanyut dalam sunyi.
Seorang sopir truk bernama You Guochun, yang saat itu berada di dalam kendaraannya, hanya bisa memandang jembatan di depan yang retak. “Aku berdiri di atas jembatan yang runtuh di hadapanku… aku ketakutan,” kisahnya lirih.
Dalam sepersekian detik, ia tahu hidupnya masih ada—tapi hanya karena keajaiban yang tak bisa dijelaskan.
Di pusat perbelanjaan di Congjiang, eskalator berubah menjadi air terjun, mobil-mobil mewah terseret ke dalam garasi bawah tanah.
“You’re lucky to be alive – that’s dangerous,” ujar petugas evakuasi, seolah membenarkan bahwa hidup dan mati kini berdiri bersebelahan.
Data yang Bicara, Alam yang Menjerit
Hingga Kamis pagi, 26 Juni, tercatat:
6 orang meninggal dunia
80.900 warga dievakuasi
Debit air mencapai 11.800 meter kubik per detik, atau 80 kali lipat dari aliran normal.
Curah hujan ekstrem adalah sisa dari Badai Tropis Wutip yang melanda wilayah itu dua minggu sebelumnya.
Para petugas penyelamat, sebanyak 89 personel dan 23 kendaraan, dikerahkan siang malam. Mereka mengevakuasi warga menggunakan tali dan perahu penyelamat, menyisir rumah-rumah yang separuh tenggelam.
Kutipan-Kutipan di Tengah Bencana
> “Ketika manusia terlalu lama memegang peradaban, alam akan menuntut percakapan.”
– Refleksi seorang relawan di lokasi
> “Daerah pedesaan menghadapi tantangan besar karena keterbatasan infrastruktur dan sumber daya.”
– Prof. Chen Xiaoguang, Chengdu Academy
Pelajaran yang Mengalir ke Nusantara
Indonesia, negeri seribu sungai, pernah dan akan terus diuji. Dari Jakarta hingga Pidie, dari Manado hingga Sintang, banjir bukan tamu asing. Tapi apakah kita masih menjadi tuan rumah yang tak pernah belajar?
1. Perencanaan Infrastruktur
Jembatan roboh, jalan hancur, dan listrik padam di Tiongkok adalah pengingat bahwa fondasi bukan hanya beton—tetapi juga kebijakan dan kesiapsiagaan.
2. Edukasi dan Evakuasi
Ratusan ribu warga diselamatkan karena sistem peringatan dini yang tegas.
Di Indonesia, sirine banjir masih lebih banyak bergema di WhatsApp ketimbang di pusat mitigasi bencana.
3. Teknologi untuk Kemanusiaan
Drone di Tiongkok dipakai mengirim bantuan beras dan obat. Kita bisa meniru—bukan hanya dari segi alat, tetapi dari niat dan kepemimpinan yang berpihak pada yang paling rentan.
4. Ekologi dan Adaptasi Iklim
Hutan yang ditebang, bukit yang diratakan, kanal yang disumbat. Di mana-mana, kita sedang mempersiapkan banjir yang lebih besar jika tak segera bertobat dari dosa ekologis.
“Banjir bukan kutukan, melainkan jawaban dari bumi uang ditanya terus tanpa didengar.”
Penutup: Air sebagai Doa dan Peringatan
Banjir bukan hanya tentang genangan. Ia adalah pesan—bahwa kita harus belajar mendengar bisikan tanah, deru angin, dan desah air. Alam bukan musuh, ia guru yang sedang lelah memberi pelajaran yang tak pernah kita catat.
> “Dan Kami turunkan air dari langit menurut ukuran, lalu Kami tempatkan dia di bumi. Dan sesungguhnya Kami benar-benar kuasa melenyapkannya.”
(QS Al-Mu’minun:18)
Jika Tiongkok adalah cermin, maka Indonesia adalah wajah di hadapannya. Maukah kita berkaca sebelum wajah kita tersapu?
*/Agus Ismunarno Cakraputra adalah wartawan utama, pendiri/pemimpin redaksi enam media massa di empat provinsi dan pimpinan media massa (1993-2022) di 5 provinsi. Kini, CEO/Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group (2022-Sekarang)
*/narasi dan foto dari berbagai sumber:reuters.com, theSun.co.uk, narasi kolaborasi dinda ai
AQUILA Indonesia:
Jurnalisme yang tidak hanya mencatat, tapi juga mengingatkan.
#tiongkok #banjir #indonesia #ekologi






