Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group
*/Bagian Kedua dari Tiga Tulisan Bela Negara
“Negeri ini tak hanya butuh pahlawan di medan tempur, tapi juga di meja belajar, ladang sunyi, dan hati yang terus berharap.”
DI TENGAH dunia yang kadang lupa pada nilai-nilai pengabdian, industri film Indonesia melahirkan kembali sebuah karya yang bukan sekadar tontonan, tetapi sebuah perenungan. Believe: The Ultimate Battle tak hanya menggambarkan letupan senapan dan dentuman perang, tetapi juga mengetuk palung terdalam kemanusiaan: tentang keluarga, keteguhan, dan makna sejati sebuah pengorbanan.
Disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Arwin Tri Wardhana, serta diproduksi oleh rumah kreatif Bahagia Tanpa Drama, film ini berangkat dari kisah nyata yang dituangkan dalam biografi Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto bertajuk Believe – Based on a True Story of Faith, Dream, and Courage.
Dengan latar peristiwa Operasi Seroja 1975 hingga misi militer tahun 1999, film ini bukan sekadar peta konflik bersenjata, tapi peta batin seorang manusia dalam medan juangnya yang sunyi namun membara.
“Jangan pernah tanya apa yang bisa negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara.”
— John F. Kennedy
Kisah Seorang Anak, Bayang-Bayang Sang Ayah, dan Jalan Sunyi Pengabdian
Agus (Ajil Ditto) tumbuh dalam jejak panjang sang ayah, Sersan Kepala Dedi (Wafda Saifan)—sosok prajurit yang lebih sering hadir di medan laga ketimbang meja makan keluarga. Di sanalah pertanyaan-pertanyaan kecil tumbuh dalam benak Agus: tentang arti cinta yang diam, tentang pengorbanan yang tanpa pamrih, dan tentang keberanian yang tidak selalu berteriak.
Perjalanan hidupnya bukan sekadar mengikuti jejak sang ayah, tetapi menjadi perjumpaan spiritual dengan makna kata “setia.” Agus akhirnya memilih untuk menjadi prajurit bukan karena dorongan darah, melainkan karena panggilan jiwa.
“Prajurit sejati tidak mencari peperangan, ia mencari kedamaian yang layak diperjuangkan.”
— Anonymus
Perang yang Paling Sunyi: Perjuangan Para Perempuan di Garis Belakang
Di balik dentuman meriam, film ini menyorot kisah para perempuan yang tak bersenjata, namun tak kalah gagah. Karakter Evi (Adinda Thomas), istri Agus, hadir sebagai potret ketabahan dan cinta yang menunggu dalam diam. Sementara Iin (Maudy Koesnaedi), sang ibu mertua, menjadi jangkar nilai dan moral lintas generasi.
Mereka bukan hanya pendamping prajurit. Mereka adalah prajurit tanpa pangkat, tanpa pelatihan, tapi punya senjata paling kokoh: kasih yang tak pernah menuntut pulang.
“Perempuan adalah medan juang yang paling sabar. Ia tak pernah menembak, tapi hatinya berdarah setiap kali yang dicintainya pergi tanpa janji kembali.”
— Penggalan Puisi Rakyat
Ketika Dunia Mengakui Getar Jiwa Nusantara
“Believe” tak hanya menjadi kebanggaan di Tanah Air. Ia menorehkan tinta emas di panggung dunia, meraih gelar Best Director di Montreal International Film Festival 2025—ajang yang hanya menghormati film dengan narasi kuat dan nilai sosial mendalam.
Prestasi ini bukan sekadar piala di etalase perfilman, melainkan pengakuan bahwa sinema Indonesia mampu berbicara dalam bahasa universal: bahasa kemanusiaan.
“Seni adalah senjata. Dan film adalah pelurunya yang paling tajam.”
Film ini lahir dari riset sejarah yang teliti: dari detail seragam militer, senjata, lokasi, hingga atmosfer era 70-an hingga 90-an. Semua ditata bukan untuk efek visual semata, tetapi untuk menghadirkan kejujuran pada penonton.
Layar Perak, Cermin Bangsa
Believe: The Ultimate Battle mulai tayang serentak pada 24 Juli 2025 di jaringan bioskop besar seperti XXI, CGV, Cinepolis, serta bioskop independen. Screening khusus juga digelar di 33 kota/kabupaten, menyentuh hati para keluarga prajurit dan masyarakat yang ingin merasakan denyut nadi perjuangan.
Nobar bukan hanya ajang hiburan, tetapi ritus kolektif untuk merenungi makna “Indonesia” di dalam dada.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.”
— Ir. Soekarno
Lebih dari Film, Believe adalah Doa
Film ini bukan sekadar penanda era baru genre aksi perang di Indonesia. Ia adalah doa kolektif yang direkam dengan kamera, dinarasikan dengan darah, dan disunting dengan cinta.
Ia menjadi pesan kepada generasi muda bahwa keberanian bukan hanya soal mengangkat senjata, tapi berani memilih jalan lurus di dunia yang bengkok.
“Sesungguhnya, setiap perjuangan adalah sebuah cinta yang memilih jalan berkorban.” Semoga!
#ri #freedom #tni #panglimatni #film






