Rekonsiliasi Nusantara: Ketika Negara Memilih Mengampuni

oleh -Post Views 87
Tom Lembong

Opini oleh Agus Ismunarno Cakraputra
Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group

 

 

“Luka politik tak bisa disembuhkan oleh waktu, hanya oleh niat untuk pulih bersama.”
— Catatan Sunyi dari Seorang Republik

 

aquilaindonesia.com – KAMIS MALAM, 31 Juli 2025. Di tengah riuh rendah dunia digital yang belum pulih dari letupan pasca Pilpres, DPR RI menyetujui dua langkah sunyi tapi menggema: amnesti bagi Hasto Kristiyanto, dan abolisi bagi Thomas Lembong.

Di atas kertas, keduanya adalah tindakan hukum. Tapi dalam nadi bangsa, mereka adalah tanda waktu baru—saat negara memutuskan bahwa dendam tak akan membawa kita ke mana-mana.

Amnesti merupakan pengampunan hukum dari negara kepada sekelompok orang atas tindakan pidana tertentu, terutama yang bersifat politis. Diberikan oleh: Presiden, dengan persetujuan DPR RI (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945).

Efek amnesti adalah menghapus akibat hukum pidana, termasuk penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan. Contoh historisnya: Amnesti kepada eks-aktivis PRD era Soeharto.

Sedang abolisi adalah penghentian proses hukum atas seseorang yang sedang dalam proses peradilan pidana, juga oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Efek abolisi: Proses hukum berhenti, tapi tidak menghapus status tindak pidana seperti amnesti. Biasanya digunakan untuk: kepentingan rekonsiliasi atau stabilitas politik.

Langkah Rekonsiliasi Prabowo: Dari Kekuasaan Menuju Keseimbangan

Hasto Kristiyanto

Langkah ini bukan sekadar strategi politik. Ia adalah pernyataan sikap dari seorang pemimpin yang dulu dikenal keras, kini memilih lentur. Hasto, tokoh PDIP yang menjadi simbol perlawanan terhadap koalisi Prabowo-Gibran, tak lagi dikejar. Tom Lembong, teknokrat AMIN yang dianggap menyimpan rahasia kekalahan, juga dibiarkan melangkah keluar dari jerat perkara.

Dua kutub itu tak dipenjara. Mereka malah dilepaskan. Dan di balik itu, ada pesan:

 

“Kekuasaan tertinggi adalah ketika engkau bisa menghukum, tapi memilih untuk memaafkan.”
— Kristalisasi Aquila

Pertemuan Senyap Sebelum Pengampunan: Jokowi, “Sang Raja Jawa”

Sebelum amnesti dan abolisi diumumkan, Presiden Prabowo lebih dulu menemui Presiden Jokowi. Dalam budaya politik Jawa, pertemuan seperti itu bukan sekadar silaturahmi. Ia adalah legitimasi moral.

Jokowi, yang bagi sebagian kalangan disebut sebagai “raja Jawa” dalam makna simbolik, menyampaikan pesan diam yang dalam: “Tata tentrem kerta raharja hanya mungkin bila amarah politik diredakan.”

Dalam sinyal peradaban itulah, rekonsiliasi dimulai.

Mengurai Luka, Menolak Balas Dendam Digital

Pilpres 2024 meninggalkan residu: tuduhan ijazah palsu, dugaan konspirasi, fitnah digital. Ruang publik kita dipenuhi kata-kata tajam tanpa tanggung jawab. Di balik setiap trending topic, ada luka yang belum sempat sembuh.

Kini, Prabowo memilih merawat luka itu bukan dengan pemidanaan massal, tapi dengan pengampunan terbatas dan terkendali. Negara tak lagi dijadikan alat pembalasan, tapi wadah penjernihan.

 

“Setiap bangsa punya sejarah luka. Tapi hanya bangsa besar yang berani memulihkan tanpa menghukum semua yang terluka.”
— Filsafat Kenegaraan, Nurcholish Madjid

Agenda Besar Selanjutnya: Perdamaian Aset, Bukan Hanya Penjara

Rekonsiliasi bukan akhir. Ia adalah jembatan menuju pekerjaan yang lebih berat: mengikis korupsi secara sistemik.

Prabowo, dengan kekuatan di parlemen, kini punya kesempatan emas untuk mendorong lahirnya RUU Perampasan Aset—sebuah pendekatan restoratif untuk mengembalikan kekayaan negara yang digelapkan, tanpa sepenuhnya tergantung pada proses pidana yang panjang dan politis.

 

“Negara yang sibuk memenjarakan, sering lupa mengembalikan apa yang dirampas.”
— Esai Hukum dan Nurani, 2012

Empat Makna Strategis Rekonsiliasi

1. Reduksi Ketegangan Politik Nasional
Langkah ini mengisyaratkan niat Presiden untuk menurunkan suhu pertarungan elite dan mengembalikan narasi kebangsaan ke arah kerja bersama.

2. Kooptasi Simbolik, Bukan Pembungkaman
Dengan memberi pengampunan pada tokoh dari dua kutub politik, Prabowo merangkul sambil mensterilkan potensi ancaman dalam balutan hukum.

3. Konsolidasi Kekuasaan Lewat Simpati, Bukan Represi
Ini adalah model baru kekuasaan: bukan dengan membungkam, tapi dengan memaafkan dan menempatkan lawan sebagai mitra rekonsiliasi.

4. Sinyal kepada Publik dan Dunia Internasional
Rekonsiliasi menunjukkan bahwa Indonesia punya mekanisme pemulihan politik yang tidak berujung pada kekerasan simbolik atau perburuan politik.

Penutup: Memaafkan Bukan Melupakan

Kita sering terlalu sibuk mengingat siapa yang bersalah, dan lupa bertanya siapa yang ingin memperbaiki.
Amnesti dan abolisi bukan tanda kelemahan. Ia adalah keberanian untuk mengakhiri bab lama, dan membuka bab baru yang lebih jernih.

 

“Hanya bangsa yang mampu memaafkan yang layak memimpin dunia yang baru.”
— Kristalisasi Satya Negri

Kini saatnya kita ikut mengampuni—tanpa pernah berhenti mengingat.
Agar sejarah tak berulang sebagai luka, tapi menjadi pelajaran untuk bersama pulih. Semoga!

Tinggalkan Balasan