80 Tahun Indonesia: Mendengar Suara Rakyat, Menjaga Marwah Republik

oleh -Post Views 4

Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra

Pemimpin Redaksi AQUILA Media Group

GETAR Kebangsaan – the journey of life series

DELAPAN puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia yang matang bagi sebuah bangsa. Bila diibaratkan manusia, kita bukan lagi remaja penuh gejolak, melainkan seorang dewasa yang seharusnya arif, bijak, dan berwibawa. Namun, demo 28 Agustus mengingatkan kita bahwa kedewasaan republik belum lengkap bila suara rakyat masih sering dianggap riuh rendah, bukan petunjuk arah.

Dari jalanan Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Makassar dan kota kota lain, rakyat menegaskan kembali apa yang dicatat dalam Pembukaan UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat.

Mereka menolak kenaikan pajak yang mencekik, menolak kenaikan tunjangan pejabat yang melukai rasa keadilan, dan menuntut negara hadir untuk korban yang terlindas roda kekuasaan. Ini bukan sekadar tuntutan materi, melainkan panggilan moral: agar republik tidak kehilangan jiwa.

Refleksi Politik Kebangsaan

Refleksi kebangsaan di usia 80 tahun harus berani menengok ke belakang. Dulu, proklamasi kemerdekaan 1945 lahir bukan dengan senjata semata, melainkan dengan keberanian moral melawan ketidakadilan. Reformasi 1998 pun menjadi saksi, bahwa ketika jarak antara rakyat dan negara terlalu lebar, maka rakyat memilih turun ke jalan untuk menegaskan kembali makna demokrasi.

Sejarah memberi pesan: republik akan rapuh bila telinga penguasa tuli terhadap suara warganya.

Tetapi refleksi ini juga harus menatap ke depan. Indonesia 80 tahun bukan hanya tentang luka dan kritik, melainkan juga tentang harapan. Bahwa dari jalanan yang panas itu, lahir seruan damai: “Kami bukan musuh negara, kami bagian dari republik yang ingin lebih adil.”

Inilah politik kebangsaan yang sesungguhnya—politik yang tidak berhenti pada perebutan kursi, melainkan politik yang berakar pada kerinduan rakyat akan keadilan dan kesejahteraan.

Titik Balik Janji Baru

Maka, momentum 80 tahun merdeka seharusnya menjadi titik balik. Bukan sekadar pesta perayaan, tetapi sebuah janji baru: negara akan lebih rendah hati, rakyat lebih dewasa dalam bersuara, dan media lebih arif dalam menyiarkan. Bila itu terwujud, maka demonstrasi bukan lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari proses tumbuhnya republik yang besar—republik yang bukan hanya merdeka, tetapi juga berdaulat, adil, dan beradab.

Pesan akhirnya: Suara rakyat di jalanan adalah gema dari sumpah kemerdekaan. Bila negara mau mendengar, maka 80 tahun Indonesia merdeka akan menjadi tonggak menuju republik yang benar-benar berjiwa rakyat.

Sejatinya pula kemurnian rakyat tidak setuju ada anarki dan penjarahan, apalagi berkonotasi makar. Rakyat juga tidak setuju unjuk rasa sejati ini dimanfaatkan saling tunggang menunggangi multi kepentingan demi kekuasaan dan tujuan jahat lainnya.

Maka silakan Presiden Prabowo segera menyetop anarki, teror dan penjarahan sesuai dengan ketentuan.

Dan wakil rakyat, tolong dengar titah tuanmu: rakyat! Kembalilah ke jantung hati rakyat, dan dengarkan: rakyat butuh kesejahteraan lebih dulu. Semoga!

*) -the journey of life adalah tulisan serial multi topik pasca 65 Th Kelahiran, 35 Th Insan Pers Indonesia, 25 Th Berkarya Jurnalistik di Babel

#Indonesia #demo #rakyat #demokrasi #penguasa

Tinggalkan Balasan