In Memoriam : Antasari Azhar yang Senantiasa Menjayakan Kebenaran

oleh -Post Views 109

Oleh: Agus Ismunarno Cakraputra

Wartawan Utama
AQUILA Media Group

> “Fiat justitia ruat caelum” — Tegakkan keadilan, walau langit runtuh.

PUTRA TERBAIK Babel pejuang keadilan dan kebenaran itu telah berpulang ke Rahmatullah, Sabtu, (8/2-2025) pukul 10.57 Antasari Azhar meninggalkan dua anak dan tujuh cucu.

Lahir di Pangkalpinang, 18 Maret 1953, Antasari memetik nilai kerja keras dan harga diri Melayu — tidak banyak bicara, tapi teguh memegang kata.

Antasari Azhar,
tumbuh di tengah kedisiplinan dan kasih sayang. Ayahnya, H. Azhar Hamid, SH, seorang penegak hukum pula, menanamkan prinsip bahwa keadilan adalah pekerjaan seumur hidup; dan kebenaran, meski sering kalah di pengadilan, tak pernah kalah di hati nurani.

Sejak muda, Antasari menapaki jalan hukum dengan ketekunan seorang anak daerah yang tak ingin hidupnya sekadar menjadi nama di papan kantor.

Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, ia memulai karier di Departemen Kehakiman, lalu meniti jenjang dari jaksa kecil di daerah hingga akhirnya dipercaya menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2007.

Tegakkan Hukum dengan Hati

Tatkala dilantik menjadi Ketua KPK, Antasari berkata pendek namun menggema:

> “Saya hanya ingin menegakkan hukum dengan hati.”

Kala itu, bangsa masih memandang KPK sebagai mercusuar harapan di tengah gelombang korupsi. Antasari datang bukan dengan pencitraan, tapi dengan gaya khas jaksa: tegas, berhitung, dan percaya pada dokumen.
Di bawah kepemimpinannya, beberapa kasus besar mulai ditangani, menandai keseriusan lembaga muda ini dalam menantang gurita kekuasaan.

Namun, seperti setiap tokoh yang menantang gelap, ia pun segera dikelilingi bayang-bayang.

Dalam salah satu wawancara, ia sempat berucap lirih:

> “Saya tidak menyesal berjuang untuk kebenaran. Saya hanya menyesal karena kebenaran itu sering datang terlambat.”

Hukum dan Nurani

Dalam banyak kesempatan, Antasari mengutip adagium klasik:

> “Fiat justitia ruat caelum” — Tegakkan keadilan, walau langit runtuh.

Tapi mungkin ia juga menginsafi adagium lain yang tak kalah penting:

> “Summum ius, summa iniuria.”
Hukum yang dijalankan secara kaku bisa menjadi ketidakadilan tertinggi.

Dua kutipan itu seperti dua sisi pedang yang menandai perjalanannya:
keadilan yang teguh, tapi juga kesadaran bahwa hukum tanpa hati adalah besi tanpa cahaya.

Dari sini kita belajar: keadilan bukan hanya perkara pasal, tapi juga rasa; bukan hanya aturan, tapi juga keberanian untuk berkata jujur — bahkan ketika kejujuran itu melukai diri sendiri.

Jauh dari Nurani

Antasari memperkenalkan semangat bahwa lembaga penegak hukum harus independen, tak tunduk pada tekanan politik.

Ia menjadi simbol bahwa anak daerah pun bisa berdiri di garis depan republik.

Ia memberi pesan kepada generasi muda hukum bahwa karier tinggi tidak berarti manakala jauh dari nurani.

Dan di balik segalanya, ia tetap dikenal oleh banyak kawan dan lawan sebagai pribadi tegas, pekerja keras, dan pantang mundur.

Dalam satu kalimat sederhana yang pernah ia tulis di buku tamu sebuah forum hukum, ia meninggalkan pesan yang kini terasa seperti wasiat:

> “Hukum tanpa kejujuran hanyalah upacara; hukum dengan kejujuran adalah ibadah.”

Pesan Abadi

Kini, ketika Antasari Azhar berpulang ke rahmat Allah, biarlah kita menundukkan kepala bukan hanya karena duka, tapi juga karena hormat.

Dari bumi timah ia datang, dari bara pengabdian ia menempuh jalan panjang, dan kini ia pulang — meninggalkan pesan abadi bagi negeri ini:

> “Kebenaran itu selalu jaya, bila hati tetap tegak di hadapan Tuhan.”

Selamat jalan, putra terbaik Bangka Belitung.
Namamu akan tetap kami sebut di setiap doa keadilan yang belum tuntas. Semoga!

#KPK #NKRI #Babel #Kebenaran #Keadilan #Antsari Azhar

Tinggalkan Balasan