Oleh: Agus Ismunarno
Wartawan Utama
- M. Zainul Arifin: Kalkulasi Dampak Moratorium PMI
- Malaysia Banyak Langgar Komitmen
AQUILAIndonesia, Malaysia
PEMERINTAH INDONESIA diwanti-wanti agar wacana semangat Moratorium Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia jangan hanya dijadikan sebagai Bargaining Position pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya perlindungan terhadap PMI di Malaysia saja.
Peringatan kehati-hatian Pemerintahan Indonesia itu disampaikan M. Zainul Arifin, SH, MH Direktur P3WNI (Pusat Penyelesaian Permasalahan WNI di Luar Negeri) dalam wawancara khusus dengan AQUILA Indonesia, Kamis (14/7-2022).
Zainul Arifin berharap, “Indonesia jangan melihat kasus demi kasus. Namun lihatlah kearifan secara keseluruhan; dampak apa saja yang akan timbul dari moratorium PMI tersebut.”
Peringatan dan harapan itu disampaikan Zainul Arifin sesudah mencermati rencana Pemerintah Indonesia melakukan moratorium atau penghentian pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia guna menuntut komitmen Negeri Jiran pada kesepakatan penyelesaian masalah perburuhan.
Sebagaimana diberitakan Bloomberg pada Rabu (13/7/2022), Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Kemnaker, Rendra Setiawan mengatakan kedua negara sebelumnya sepakat menggunakan sistem satu kanal atau One Channel System untuk penempatan tenaga kerja.
Rendra mengakui Malaysia ternyata masih memiliki sejumlah saluran perekrutan lain.
Ia menegaskan, “Ini menyulitkan pemerintah untuk memantau dan melindungi pekerja migran.”
Malaysia, yang bergantung pada tenaga kerja migran dari negara-negara termasuk Indonesia, kata Rendra, terus berupaya memenuki kekurangan sumber daya manusia (SDM) di sektor-sektor utama, termasuk kelapa sawit, manufaktur, dan semikonduktor.
Rendra mengatakan kedua negara memiliki dua perjanjian yang bertujuan untuk memastikan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono terdorong untuk merekomendasikan moratorium penyaluran pekerja baru dan Kemnaker akan segera menindaklanjuti dengan surat resmi.
Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia sendiri merespon dan akan mengadakan diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri menyusul keputusan pemerintah Indonesia.
Ikuti Kebijakan Lain
Lebih lanjut, Zainul Arifin mencatat, sejak 2009 kebijakan Moratorium PMI ke Malaysia tidak mengubah PMI menjadi lebih baik dalam bekerja mencari nafkah di negeri jiran.
Sebab, tandas Zainul Arifin, moratorium tidak diikuti dengan kebijakan lain yang dapat lebih mensejahterakan dan melindungi PMI.
Ia mencontohkan, jumlah PMI yang nonprosedural (ilegal) di Semenanjung Malaysia sama banyaknya dengan jumlah PMI yang Prosedural (legal) bahkan lebih banyak.
“Artinya kebijakan moratorium tidak menyelesaikan masalah,” tegas Zainul.
Indonesia, kata Zainul Arifin, harus berhati-hati mengambil keputusan moratorium PMI, sebab dapat berdampak semakin banyaknya pemberangkatan penempatan PMI ke Malaysia secara nonprosedural (ilegal).
“Dampak dalam negeri Indonesia, moratorium semakin meningkatkan pengangguran di dalam negeri karena ketidak siapan pemerintah membuka peluang pekerjaan di negeri sendiri,” kata Zainul Arifin member saran.
Malaysia tak Konsisten
Zainul Arifin juga mengaku kecewa terhadap pemerintah Malaysia yang tidak konsisten melaksanakan komitmen bersama di dalam menjalankan MoU antara Indonesia dan Malaysia per tanggal 1 April 2022 yang lalu.
“Pasal 17 salah satu pihak dapat melakukan penangguhan MoU,” kata Zainul.
Pemerintah Malaysia, papar Zainul Arifin, masih menerbitkan Journey Performed Visa (JP Visa) atau Visa tinggal sementara. Visa jenis ini sering disalahgunakan PMI untuk bekerja di Malaysia yang tidak melalui job order.
“Ini menciderai MoU tersebut yang telah ditandatangani di hadapan Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Ismail Sabri,” kata Zainul.
Diplomasi Masif
Alangkah lebih baiknya, usul Zainul Arifin, pemerintah Indonesia melalui Duta Besar Indonesia Hermono untuk melakukan upaya diplomasi secara masif kepada pemerintah Malaysia agar MoU dapat dijalankan secara sunguh-sungguh dan mengusulkan untuk merevisi MoU tersebut dengan mencantumkan ketentuan sanksi yang lebih mengikat.
“Bukan malah membuat wacana untuk melakukan moratorium yang bukan bagian dari kewenangan seorang Duta Besar melainkan kewenangan Kementerian terkait” kata Zainul Arifin menyayangkan. (*/ags)