Oleh: Ronald Rudi Sianturi
“The truth will set you free” (Yohanes 8:32)
KASUS HUKUM yang mendapat perhatian khalayak luas, apalagi dengan intensitas yang kian meningkat, biasanya karena terkesan simpang-siur, kontroversial, traumatik, dan karenanya, keadilan publik terluka.
Terbunuhnya Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Joshua di rumah dinas atasannya, Kadiv Propam non aktif Irjen Pol. Ferdy Sambo, masuk kategori di atas.
Tingkat kekerasan yang terjadi, berbagai hal yang terasa ganjil dan proses penanganan yang di luar kebiasaan sontak mendapat perhatian serius dan perbincangan warga hingga ke kedai-kedai kopi.
Presisi dan Luar Biasa
Keganjilan atau kejanggalan mengisyaratkan bahwa ini – meminjam perkataan Menkopolhukam Mahfud M.D.- bukan kasus biasa. Maka sesuai spirit kerja-kerja polisi, prosedur investigasi dan telaah-telaah saintifik-forensik olah TKP dan material lain serta pendampingan korban-korban dan/atau saksi-saksi mau tak mau harus dilakukan menurut kategori “presisi dan luar biasa”.
Terlepas dari berbagai kejanggalan dan kemungkinan adanya upaya untuk menghalang-halangi proses investigasi yang transparan, imparsial dan obyektif, termasuk lenyap misterius berbagai barang bukti saat kejadian, publik tentu menyambut gembira mengapresiasi berbagai perkembangan signifikan sebagaimana yang dikatakan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam konpersnya.
Polisi telah menemukan kembali sejumlah fakta penting seperti tentang CCTV di rumah dinas Irjen Sambo. Polisi juga telah memeriksa puluhan anggota polisi terkait dan bertindak tegas terhadap personil-personil yang dianggap melakukan pelanggaran etis.
Publik tentu sangat mengapresiasi berbagai kemajuan dalam penanganan kasus ini. Lebih jauh lagi, serangkaian tindakan luar biasa dari tim khusus Polri dibandingkan kelambanan dan simpang-siur penanganan di awal kejadian ini tentu secara bertahap mulai mengembalikan martabat institusi Bhayangkari di negeri tercinta Indonesia, baik sebagai penegak hukum maupun, terutama dalam hal ini, penjaga keadilan kolektif.
Publik yang Berempati
Di titik inilah kita sebagai sesama manusia bisa menaruh simpati pada Ibu Putri Candrawathi.
Kita harus bersikap adil kepada seseorang yang berada dalam tragedi berdarah. Dia terperangkap dalam “baku tembak”, ketakutan bersembunyi di sebelah desingan peluru dan pekak kokang senjata dan ledakan peluru, terbelalak menyaksikan genangan darah, tercekam dengar erangan kesakitan.
Terlepas seperti apapun nanti hasil final investigasi dan proses pengadilan, Putri pasti sangat terpukul, stress, bahkan mungkin depresi.
Di saat yang sama, Putri adalah saksi kunci yang menyaksikan segala hal, termasuk mengetahui sebenar-benarnya apa yang terjadi.
Jelas kondisi psikologisnya terkait erat dengan peristiwa terbunuhnya Joshua dan fakta bahwa dirinya dibicarakan seluruh Indonesia.
Tanpa mengecilkan kesedihan, penderitaan, dan jalan terjal yang sedang dijalani keluarga mendiang Brigadir Joshua, publik sebagai pihak yang merasa rasa keadilannya tercabik justru mampu bersimpati kepada Putri, karena siapapun pasti sangat tertekan dalam situasi ini.
Kebenaran yang Membebaskan
Putri juga mungkin sangat tertekan karena mungkin mengetahui yang “berbeda” dari narasi yang mengemuka, khususnya di awal kasus.
Selain itu, dia mungkin sangat tertekan karena secara tak sengaja atau merasa harus melindungi atau mungkin dia merasa tanpa sengaja telah “terjebak dalam carut-marut sesuatu” yang membuatnya berada dalam situasi dilematis.
Akan tetapi kebenaran atau mengutarakan kebenaran akan membebaskan, itu adalah Firman dalam Injil “the truth will set you free”.
Maka sebagai sesama warga, publik bisa mendoakan Putri agar memilih jalan pembebasan dan penebusan diri -sekalipun berat sekali konsekuensi-konsekuensi- karena ini menyangkut nyawa yang diambil.
Apabila benar terdapat sesuatu fakta yang tertutupi, yang sangat mungkin tak direncanakan, atau bahkan jika yang dia ketahui sebenarnya tak beda dengan hasil-hasil penyelidikan sejauh ini, tak mengatakan apa-apa, sementara itu mengalami traumatisasi akibat menyaksikan sebuah tragedi berdarah, bisa berakibat depresi berkepanjangan dan rasa bersalah hingga nafas terakhir.
Dia perlu “release” beban emosional tersebut dengan tampil ke depan publik dan keluarga korban. Minimal, mengucapkan bela sungkawa.
Proses Pendampingan Klinis
Jika boleh yang membayangkan proses pendampingan psikologis bagi Putri, hal-hal di atas bisa dijadikan sebagai hipotesa untuk diuji.
Tentu pendampingan itu dilakukan tidak dengan cara interogasi ala polisi atau investigasi jurnalistik, yang masing-masing memiliki tempat,1 bobot, prosedur, dan kepentingan sendiri yang sama baiknya, atau cara-cara intervensi lainnya, namun dengan serangkaian cara klinis yang2 menempatkan keselamatan dan hak klien sebagai prioritas dan selalu prioritas sepanjang proses terapi.
Konteksnya tetap dan selalu tetap psikoterapi. Pendamping adalah dan selalu adalah fasilitator yang membantu proses terapeutik bagi klien. Dan sudah pasti kita akan memastikan bahwa pekerjaan klinis tak boleh2 -sengaja atau tak sengaja- terbawa narasi pembelaan atau berbagai pihak2 lainnya atau terdikte pemberitaan -sengaja atau tidak sengaja.
Proses release akan memberi klien ruang-waktu leluasa untuk menjadi dirinya sendiri. Dia bisa mengatakan yang membebani dirinya, entah apapun itu, dan setiap kecemasan dan ketakutan harus diberi ruang penuh untuk divalidasi.
Kita akan lindungi hak dan keselamatan klien dengan bekerja professional dan independen tanpa, tentunya, melampaui tupoksi sebagai pendamping kejiwaan.
Penutup
Sepahit atau segetir apapun kebenaran, kebenaran itu selalu final dan presisi sejak dari awal.
Maka mari berdoa bagi sang Putri demi kebaikan setiap orang dan memberi suara dan keadilan kepada mendiang Joshua.
Kiranya kasus ini kelak akan tercatat dalam sejarah Republik sebagai Monumen Panca Presisi: (1) presisi kepastian hukum, (2) presisi investigasi, (3) presisi keadilan bagi mendiang Joshua danq keluarga, (4) presisi rasa keadilan publik, dan (5) presisi dalam pendampingan klinis.
“The truth will set you free”
(Yohanes 8:32)